Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nikmatnya Sega Ndoreng Demak, Kuliner Rakyat Sepanjang Masa

Kompas.com - 12/09/2020, 10:48 WIB
Ari Widodo,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

 

Warisan turun-temurun

Sega ndoreng masih banyak dijumpai di desa-desa di Kota Wali.

Penjualnya rata-rata perempuan lanjut usia yang melanjutkan usaha dari orangtuanya.

Menurut Mbah Tianah (60) pedagang sega ndoreng yang mangkal di depan rumahnya di Desa Kalikondang, Kecamatan Demak, dirinya sudah berjualan sejak 40 tahun yang lalu.

Berkat sega ndoreng, ia berhasil membesarkan ke 9 anaknya hingga berhasil bekerja semua.

"Sadean terus, nuruni Ma'e nggantos sakderenge tinggal taksih ngadepi Sega Ndoreng (jualan terus mewarisi Ibu, sebelum meninggal masih berjualan nasi ndoreng)," ujar Mbah Tianah kepada Kompas.com, Sabtu (12/9/ 2020).

Baca juga: 8 Restoran Bakmi Ayam Legendaris di Jakarta, Rekomendasi Wisata Kuliner

Meski terkenal sebagai makanan rakyat jelata yang murah meriah, tetapi sega ndoreng malah dinikmati oleh semua kalangan.

Untuk mendapatkan sepincuk sega ndoreng, konsumen hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp 2.500.

Harga yang sangat enteng bagi kalangan menengah ke atas, tetapi sangat membantu bagi masyarakat yang tak mampu.

"Pinten - pinten mawon nggih dilayani. Badhe ngersake tigang ewu monggo, gangsal ewu nggih monggo, kaleh ewu nggih kulo layani (beli berapapun tetap dilayani, tiga ribu, lima ribu atau dua ribu tetap dilayani)," kata Mbah Tianah.

Selain Mbah Tianah, ada juga Mbah Lastri (68) yang menjajakan sega ndoreng dari rumah ke rumah di Desa Karangsari, Kecamatan Karangtengah Demak.

Ia mengaku tak akan mengubah menu jualannya, sebab ingin melestarikan kuliner khas Demak.

"Ajrih mbokbilih lare nem mboten kenal sega ndoreng, mangke njur ngertose panganan bule sing burger burger nopo chicken chicken niku (takut kalau anak anak muda tidak kenal nasi ndoreng, ngertinya malah makanan orang bule yang burger atau chicken)," tutur Mbah Lastri.

Berbekal semangat mengenalkan kuliner asli Nusantara kepada generasi muda, Mbah Lastri biasanya menggelar dagangan di depan sekolah.

Tapi setelah sekolah diliburkan akibat pandemi virus corona, maka tubuh bungkuk Mbah Lastri mau tak mau harus kuat berjalan keliling desa menjajakan sega ndoreng buatannya.

"Lare lare remen, padahal sayurane niku ndeso banget olehe metik teng ndadah, gadahe tiyang sing boten kangge. Sayurane mboten tumbas (anak-anak suka, padahal sayuran khas pedesaan yang saya petik dari kebun orang, tumbuhan liar tidak dipakai yang punya. Saya tidak beli)," ungkap Mbah Lastri.

Mbah Lastri dan Mbah Tianah adalah dua dari sekian banyak sosok sepuh pelestari makanan  khas nusantara yang tak tergiur oleh komoditas kuliner yang lebih menjanjikan sebagai sumber penghasilan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com