KOMPAS.com - Sebuah kampung di Langkat, Sumatra Utara dinamai Kampung Majelis Ta'lim Fardhu — lazim disebut Kampung Matfa — yang menjalankan kebersamaan dan kesamarataan yang disebut seorang sosiolog mencoba memadukan antara spirit keislaman dan sebagian nilai-nilai yang bercorak sosialisme.
Hari itu, Rabu (22/7/2020), sejumlah perempuan berkumpul dan terlihat serius melakukan pekerjaan masing-masing.
Sebagian di antara mereka tengah membersihkan sisik ikan. Sementara yang lain tampak fokus mengaduk olahan sayur di wajan besar.
Baca juga: Menag: Masjid Hadiah Pangeran Abu Dhabi untuk Jokowi Perkuat Toleransi
Di sebelahnya, perempuan-perempuan lain bersenda gurau sembari membungkus makanan. Ada juga yang baru saja selesai memasak beras serta air.
Hari itu merupakan jadwal bagi mereka menyiapkan kebutuhan lauk untuk seluruh warga.
Dapur umum, begitu mereka menyebutnya. Ruang terbuka seluas 10x10 meter yang merupakan pusat pengolahan makan dan minum penduduk kampung. Letaknya persis di tengah persimpangan.
Baca juga: Mendambakan Toleransi Umat Beragama
Setelah siap, satu per satu perwakilan keluarga datang mengambil jatah makanan dan kemudian membawanya ke rumah masing-masing. Baik ketika sarapan, makan siang dan makan malam.
Dengan kata lain, menu makanan yang disantap penduduk di kampung itu selalu sama.
Inilah satu di antara keunikan Kampung Kasih Sayang alias Kampung Majelis Ta'lim Fardhu Ain atau Matfa.
Baca juga: Belajar Toleransi dari Suku Wajor, Pantang Bertengkar Hanya karena Berbeda
Semua penduduknya menjalani hidup dengan kebersamaan dan kesamarataan.
Kampung ini bernama asli Kampung Darussalam dan terletak di Dusun III Darat Hulu, Desa Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Wartawan BBC Indonesia, hari itu bertemu dengan Kholiqul Ritonga, akrab dipanggil Kholiq, yang dipercaya warga menjadi juru bicara Kampung Matfa.
Sebelum pindah ke Kampung Matfa, Kholiq dan keluarganya bertempat tinggal di Kompleks Perumahan Menteng Indah, Medan, Sumatera Utara.
Baca juga: Cerita WNI tentang Toleransi Warga Australia Saat Menjalani Ramadhan di Negeri Kangguru
Sebelumnya, Kholiq aktif mengajar seni beladiri Aikido. Dia membuka enam Dojo atau perguruan.
Dari sini dia bertemu Prasuta Citra alias Cici, dokter gigi, yang kemudian menjadi pendamping hidupnya.
Pada 2004, keduanya menikah dan kini sudah dikaruniai dua orang anak yang duduk di bangku sekolah dasar.
Baca juga: Toleransi dalam Pondok Pesantren di Bali yang 50 Persen Gurunya Beragama Hindu
Kecintaan Kholiq pada Aikido membawanya mengenal Kampung Matfa. Katanya, Aikido bukan seni beladiri yang hanya mengedepankan hasil pertarungan.
Terdapat filosofi tersendiri yang terkandung di dalamnya. Yakni harmonisasi dengan alam, tuturnya.
Seiring mendalami Aikido, di benak Kholiq terbersit pertanyaan, "Bagaimana mengaplikasikan semua ini di kehidupan sehari-hari. Kemudian saya bertemu dan mendengar ajaran dari Tuwan Iman (pemimpin Kampung Matfa), yakni tentang bagaimana berkasih sayang," kata Kholiq.
Baca juga: Gereja Katedral Jakarta Berharap Terowongan Silaturahim Mempererat Toleransi
Menurut Kholiq, penjelasan Tuwan Imam menjadi jawaban atas segala pertanyaannya selama ini.
"Akhirnya saya temukan di kampung ini bagaimana melakukan itu. Karena kecintaan dengan Aikido, kemudian muncul keinginan menjadi seorang Aikido yang baik," katanya
"Sesuai kata pendirinya, adalah menyatu dengan alam, tidak bersinggungan dengan yang lain. Nah, semua konteks ini ternyata ada dalam beragama," sambungnya.
Baca juga: Belajar Toleransi di Banuroja, Desa Pancasila Penuh Damai di Indonesia
Kholiq juga mengaku tidak menemukan kendala dari pihak keluarga. Orangtua mereka bahkan mendukung, ungkapnya.
"Karena urusan agama, jadi orangtua support. Tak ada masalah," katanya.
Pada 2012, Kholiq memutuskan pindah ke Kampung Matfa bersama pendatang lainnya. Mereka kemudian bergotong royong membangun permukiman.
Istrinya, Cici membuka layanan kesehatan gigi di Rumah Sehat (tempat pengobatan di Kampung Matfa)
Baca juga: Merajut Toleransi dan Keberagaman di Kelenteng Pan Kho Bio
Perpindahan dari kawasan kota menuju pelosok kampung tidak menjadi hal sulit bagi Kholiq. Dia mengaku hanya perlu sekejap adaptasi.
"Mungkin karena saya memang mendapat apa yang saya cari, jadi tidak sulit. Cukup adaptasi sekadar saja," kata Kholiq.
Pun begitu dengan istri Kholiq, Cici. Dia tidak menolak ketika pertama kali diajak suaminya pindah ke Kampung Matfa.
Padahal, Cici saat itu telah membuka praktik dokter gigi di Medan.Menurutnya, semua itu setimpal dengan yang ia dapatkan saat ini.
"Alasan saya hijrah dengan suami agar bisa berbakti sosial dalam beragama," kata Cici.
Baca juga: Potret Toleransi di Jember, 8 Agama Ikut Hadir dalam Perayaan Imlek