Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Penangkapan Effendi Buhing, Pejuang Adat Laman Kinipan

Kompas.com - 29/08/2020, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

Akar masalah dari rentetan krisis konflik agraria di Indonesia, menurut Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, disebabkan kesesatan berpikir negara dalam melihat masyarakat dan wilayah adat.

"Negara memberikan izin legal kepada perusahaan untuk beroperasi, tapi hak-hak masyarakat dan wilayah adat tidak diakui negara padahal mereka yang menempati wilayah adat itu," kata Hidayati.

Akibatnya terjadi legalisasi tindakan "perampokan" oleh pengusaha di wilayah adat.

Baca juga: Satu Dekade Konflik dengan Perusahaan Kayu, Ini Perjuangan Masyarakat Long Isun Pertahankan Hutan Adat

Ibaratnya, "rumah kita dimasuki pencuri, terus kita melawan pencuri, tapi yang masuk penjara kita karena melawan pencuri tersebut. Ini kesesatan berpikir. Tidak bisa hanya dilihat dari legal formal, perusahaan punya izin jadi bisa apa saja, dan masyarakat adat harus setuju, tidak bisa," kata Hidayati.

"Masyarakat selalu di posisi dirugikan, dituduh mencuri, menghalang-halangi, padahal mereka telah dirampok habis-habisan, dibiarkan menderita, bahkan dipenjara. Dan perampokan ini dilegalkan oleh pemerintah sehingga pengusaha bisa berbuat semaunya di wilayah adat," katanya.

PT SML telah mengantongi surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang izin pelepasan hutan seluas 19.091 hektare.

Baca juga: Tolak Eksploitasi Hutan Adat Pulau Seram, Mahasiswa Duduki Jalan Raya

PT SML juga dizinkan melakukan kegiatan usaha di tahan seluas sekitar 9.435 hektare oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Untuk itu guna melindungi masyarakat dan wilayah adat, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi meminta negara untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang masyarakat adat yang terbengkalai 10 tahun di DPR.

"RUU itu mangkrak bertahun-tahun, tapi Omnibus Law yang baru saja muncul akan segera disahkan. Kami meminta Presiden Jokowi turun tangan, segera bertindak serius, memerintahkan polisi menarik diri dari konflik, dan berpihak ke masyarakat bukan ke pengusaha, memerintahkan KLHK dan Kementerian Agraria mereview izin-izin yang bermasalah baik di Kinipan, Besipae dan wilayah lainnya," kata Rukka.

Baca juga: 75 Tahun Kemerdekaan RI, Masyarakat Adat Masih Berjuang untuk Kesetaraan

KSP: Konflik agraria saat ini adalah letupan kasus masa lalu

Masyarakat menolak Hutan Kinipan dijadikan perkebunan sawit.Facebook Save Kinipan Masyarakat menolak Hutan Kinipan dijadikan perkebunan sawit.
Munculnya konflik agraria menurut Deputi II Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang membidangi pembangunan manusia, Abetnego Tarigan disebabkan dua hal.

Pertama, konflik agraria yang terjadi di era Jokowi merupakan letupan kasus-kasus di masa lalu yang tidak selesai.

"Isu agraria menjadi muncul karena isu ini menjadi fokus pemerintahan Jokowi sehingga menjadi diekspresikan dan dikeluarkan, padahal penyebabnya terjadi di masa lalu. Kebijakan pusat, kami mendukung percepatan pengakuan tanah adat," kata Abetnego.

"Di periode Pak Jokowi, hutan adat itu yang paling banyak diakui. Tapi memang kami mengakui proses pengakuan tanah adat itu tidak mudah," kata Abetnego.

Baca juga: Baju Adat Riau Ada di Uang Baru Rp 75.000, Gubernur Syamsuar: Surprise buat Kami

Ia mencontohkan di kasus Kinipan misalnya, pemerintah daerah menjadi faktor penghambat pengakuan wilayah adat Kinipan.

"Yang Kinipan ini kami sudah mengundang pertemuan bahkan ke sana, tapi mandek karena pemda tidak menunjukan itikad baik menyelesaikan masalah dan mencari solusi, malah menanyakan ke warga legalitasnya, justru legalitas itu tanggung jawab pemda membantu masyarakat punya legalitas. Lalu Ketika masyarakat menghentikan upaya itu yang muncul pendekatan keamanan," kata Abetnego.

Faktor kedua adalah ketar-ketirnya para pengusaha lahan akibat ketatnya aturan perizinan dan pengelolaan hutan di era Jokowi, seperti Peraturan Presiden (Perpes) tentang Reforma Agraria, Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, dan lainnya.

Baca juga: Masyarakat Adat Dayak Lundayeh Bentangkan Merah Putih di Ketinggian 1.103 Meter, Ini Tujuannya

"Selama ini banyak pengusaha yang menggunakan lahan hanya sebagai land banking, cadangan lahan. Mereka khawatir kalau lahan cadangan yang dulu didapat dengan mudah sekarang direview, direvisi, dicabut. Sehingga mereka berupaya melakukan penguasaan dan pengelolaan tanah itu, yang akhirnya menciptakan konflik," kata Abetnego.

Ke depan, kata Abetnego, KSP akan membicarakan masalah Kinipan dan konflik agraria lainnya secara lintas kementerian, seperti dengan KLHK dalam konteks masyarakat adat, Kementerian Agraria dalam konteks pertanahan, dan Kementerian Dalam Negeri dalam menyelaraskan pandangan.

"Tidak rumit sebenarnya di Kinipan. Masyarakat tidak setuju untuk bersawit, seharusnya dihargai dan dilindungi, jangan dipaksakan menjadi petani plasma sawit. Seolah-olah dengan mendapatkan izin, perusahaan berhak menyuruh semua masyarakat menjadi petani plasma sawit, padahal mereka mau jadi petani berhutan," kata Abetnego.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com