Saat dihubungi, Hendra mengatakan, Effendi tengah dalam perjalanan menuju Polda Kalteng guna menjalani pemeriksaan.
Senada dengan itu, Kepala Hubungan Masyarakat PT SML Wendy Soewarno mengatakan sering kali diganggu oleh Effendi dan teman-temannya.
"Karyawan diancam, pos pantau dirusak, motor dibakar, alat kerja dirampas. Jadi penangkapan Polda Kalteng murni tindak pidana, bukan kriminalisasi terkait hutan adat," klaim Wendy.
Baca juga: Tokoh Adat Sebut 37 Warga Besipae Pendatang dan Baru Menempati Lahan Itu Tahun 2011
Namun, Komite Nasional Pembaruan Agraria menilai tindakan polisi sebagai bentuk kriminalisasi kepada pejuang lingkungan yang melindungi hutan adat dari gempuran investasi pengusaha kelapa sawit.
"Riswan dan Effendi saat itu mau menghentikan penebangan hutan, melindungi hutan. Mereka mengambil dan menahan chainsaw (pemotong pohon), tidak benar dirampas, apalagi dicuri. Kalau dicuri seharusnya diam-diam," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas N Hartono dalam sebuah konferensi pers daring, Kamis (27/8/2020).
Saat konferensi itu berlangsung, kata Dimas, keberadaan Effendi tidak bisa diketahui.
Baca juga: Soal Pemilihan 9 Anak Berpakaian Adat di Uang Rp 75.000, Ini Kata BI
Dimas mengatakan, Effendi dan kelima warga adat Kinipan menolak hutannya dijadikan perkebunan sawit karena memiliki kekayaan alam tinggi, seperti kayu ulin dan besi berlimpah, dan menjadi sandaran hidup masyarakat adat.
"Hutan itu sebagai pelindung. Ketika daerah aliran Sungai Batang Kawa rusak akan merusak Kabupaten Lamandau sendiri. Kinipan tidak pernah banjir, tapi dalam dua tahun terjadi banjir, padahal di hulu, apalagi yang di hilir. Mereka mempertahankan adat istiadat, budaya, alam, dan kehidupan masyarakat," kata Dimas.
Baca juga: Pembabatan Hutan Adat di Maluku, Pemprov dan Perusahaan Beda Pendapat soal Izin
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menyebutkan, "kriminalisiasi" enam warga adat Kinipan merupakan upaya sistematis dalam menghancurkan hutan dan komunitas adat Kinipan menjadi perkebunan sawit.
"Berdasarkan peta adat Kinipan, batas luar wilayah adat punya nama, dan ada petanya, ada sejarahnya, sehingga itu masuk dalam wilayah adat," kata Widodo.
Rentetan konflik agraria: Masyarakat adat sebagai "jualan"
Konflik yang melibatkan antara pengusaha dan masyarakat adat itu menunjukan bahwa pemerintah hanya menjadikan keanekaragaman budaya dan masyarakat adat sebagai bahan "jualan" untuk mendatangkan investor.
"Pemerintah mengakui masyarakat adat tapi hanya sebagai kamuflase dan jualan investasi karena kehidupan masyaraktnya diintimidasi, diusir, dikriminalisasi. Indonesia dalam krisis agraria," kata Benni Wijaya dari KPA.
Baca juga: Protes Pembabatan Hutan Adat di Pulau Seram, Mahasiswa Demo di Kantor DPRD
Pelegalan atas 'perampokan' wilayah adat