Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam Sebulan, Ribuan Warga Daftar Gugat Cerai di PA Soreang, Bandung

Kompas.com - 26/08/2020, 11:56 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Antrean yang mengular warga yang menggugat cerai di Kantor Urusan Agama (KUA) Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, viral di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat perceraian di Kabupaten Bandung meningkat.

Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Soreang, Ahmad Sadikin mengatakan, sejak pandemi pada Bulan Maret 2020, angka perceraian sangat tinggi.

Bahkan saking tingginya, kantor PA Soreang terpaksa menutup sementara pendaftaran gugatan cerai pada Mei selama dua minggu.

"Setelah itu, kita batasi yang daftar hanya 10 orang," kata Ahmad dihubungi Kompas.com, Senin (24/8/2020).

Baca juga: Faktor Ekonomi Saat Pandemi, Alasan Utama Tingginya Perceraian di Kabupaten Bandung

Ahmad mengatakan, karena pada Mei kuota pendaftaran gugatan cerai dibatasi sementara jumlah calon pendaftar banyak, maka pada Juni 2020, daftar gugatan cerai melonjak hingga 1.012 kasus.

"Bulan Juni 2020 masuk di atas 1.012 gugatan cerai. Biasanya berkisar 700 sampai 800 gugatan cerai per bulan," kata Ahmad.

Ia mengatakan, rata-rata alasan gugatan cerai itu karena faktor ekonomi.

"Gugatan cerai kebanyakan karena alasan nafkah. Karena nggak sabar. Orang-orang sekarang dikasih cobaan enggak tahan," kata Ahmad.

Perubahan gaya hidup

Sementara itu, salah seorang budayawan asal Jawa Barat, Dedi Mulyadi menilai, banyaknya gugatan cerai akibat perubahan gaya hidup masyarakat di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Perubahan gaya hidup itu khususnya terjadi pada ibu rumah tangga.

Dedi mengatakan, karakter ibu rumah tangga hari ini sangat bereda dengan kaum perempuan tahun 70-an. Menurutnya, kalau tahun 1970-an, seorang perempuan berfungsi bukan hanya sebagai ibu tetapi juga istri dan sekaligus juga terkadang menjadi tulang punggung keluarga. Ia mampu mengerjakan ketiga peran itu.

"Karena karakter perempuan saat itu ya tradisi pasrah pada keadaan. Apa yang diterima patut disyukuri karena itu sudah kodrat perempuan," katanya kepada Kompas.com via sambungan telepon, Rabu (26/8/2020).

Kata Dedi, terlepas dari sisi negatif tentang kepasrahan seorang ibu itu, tetapi dari suasana kebatinan, kaum ibu itu memiliki kedekatan dengan alam, Tuhan dan anak-anak, sehingga tumbuhlah kaum ibu kreatif.

Kemudian saat mereka mengalami kesulitan kebutuhan pokok waktu itu, para ibu menjadi kaum perempuan kreator.

Mereka bisa mengelola gadung dan biji karet menjadi makenan. Lalu mengolah singkong dan jagung menjadi keanekaragaman panganan. Akhirnya kebutuhan pokok keluarganya terpenuhi tanpa bergantung siapa pun.

Lalu seiring dengan perubahan tren dan zaman ketika teknologi informasi mengubah pola pikir manusia, maka kaum ibu hari ini menjadi kaum ibu terbuka. Dia tidak lagi melulu memerankan peran dapur, tetapi mula melakukan peran sosial, hidup organisasi dan kelompok ditambah maraknya penggunaan gawai, perangkat otomotif, televisi dan juga fashion.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com