YOGYAKARTA, KOMPAS.com- Perubahan iklim membingungkan petani di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, karena ilmu titen atau kebiasaan yang sudah digunakan sejak puluhan tahun jadi sering salah.
Rohmat, petani di Padukuhan Buyutan, Kalurahan Ngalang, Kapanewon Gedangsari, mengatakan, selama ini petani di wilayahnya masih menggunakan ilmu titen atau kebiasaan menghitung bulan Jawa untuk menanam padi maupun palawija.
"Kalau mongso kedua kita memanen bambu pasti akan tidak awet, karena dimakan ngengat," ucap Rohmat di sela Sekolah Lapang Iklim (SLI) Operasional oleh BMKG di Kapanewon Gedangsari Senin (24/8/2020).
Baca juga: Perubahan Iklim, Pesisir Indonesia Terancam Tenggelam (1)
Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki, Kapanewon Gedangsari, Sajikan, menambahkan, anggota kelompoknya sebagian besar masih mengandalkan ilmu titen saat menanam.
Sebab, di wilayahnya para petani sebagian besar berusia tua, dan tidak mengetahui kondisi cuaca terkini.
Adapun contohnya, masa tanam akan dilakukan pada 'mongso ke 5' atau Oktober dan awal November akan dimulai masa tanam padi.
"Kalau di tempat lain sebelum hujan sudah mulai menanam atau disebut ngawu-awu, di sini biasanya menunggu hujan karena sebagian sawah," kata Sajikan.
Baca juga: Perubahan Iklim, Pesisir Indonesia Terancam Tenggelam: Mereka yang Bertaruh Nyawa (2)
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul Bambang Wisnu Broto menyampaikan, ngawu-awu biasa dilakukan warga Gunungkidul.
Ngawu-awu berarti menanam sebelum musim hujan tiba, sesuai dengan penghitungan bulan Jawa atau ilmu titen petani.
Bagi yang beruntung tanaman akan berkembang dengan baik, tapi jika tidak ada hujan akan mati.
"Jika dihitung berapa ribu kilogram bibit yang terbuang," ucap Bambang.