Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Pemburu Ikan Raksasa di Sungai Batanghari, Sering Dikejar Ular Welang, Videonya Viral di YouTube

Kompas.com - 19/08/2020, 11:38 WIB
Suwandi,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com - Sebagai sungai terpanjang di Sumatera, Batanghari adalah tempat hidup ikan raksasa berbobot ratusan kilogram dengan umur puluhan tahun.

Kondisinya sekarang telah tercemar dampak dari penambangan emas tanpa izin (PETI).

Selain PETI, para pemburu ikan raksasa di Sungai Tembesi, anaknya Sungai Batanghari terancam alat setrum ikan.

Pendapatan nelayan turun drastis, biasanya bisa mendapat ikan dengan bobot ratusan kilogram, sekarang hanya puluhan kilogram, itu pun sulit didapat.

Baca juga: Ikan Raksasa Seberat Satu Ton Ditemukan Nelayan di Poso

Ikan tapah

Ayah satu anak bernama Arief Nurochim adalah spesialis pemburu ikan raksasa penghuni Sungai Tembesi, yakni ikan tapah.

Setelah pamannya meninggal dunia, Arief sendirian berburu ikan sejak empat tahun lalu.

Sang paman mewariskan ilmu berburu ikan tapah. Mulai dari membuat alat tangkap tradisional seperti menteban, lampun, tagang dan jalo rambang.

"Turun temurun dari keluarga. Terakhir paman yang mengajari Saya berburu tapah," kata office boy di salah satu bank plat merah ini, saat dihubungi via WhatsApp, Rabu (19/8/2020).

Baca juga: Sungai Batanghari Meluap, Ribuan Rumah di Jambi Terendam Banjir

Banyak yang pakai setrum

Meskipun terbilang muda, Arief tidak tertarik menangkap ikan dengan setrum, meskipun hasilnya bisa puluhan kilo dalam semalam.

Menurutnya itu merusak dan membunuh ikan-ikan kecil. Dia setia dengan alat tangkap tradisional yang hampir punah, yakni menteban.

Sudah jarang anak muda yang menangkap ikan dan mengenal alat ini, kata Arief. Menteban terbuat dari anyaman bambu. Alat ini tidak menggunakan umpan.

Menteban dipasang di tepi-tepi sungai tempat jalannya ikan. Arief paham betul, seluk beluk ikan tapah.

 

Ikan tapah suka daerah bergambut

Menurutnya, ikan tapah berbobot puluhan kilogram, setiap malam rutin keluar mencari makan. Dia menepi menyusuri sungai. Suka berlama-lama di tebing-tebing curam, atau daerah bergambut dan di sela-sela pohon besar.

Apabila kondisi air surut, Arief menggunakan jalo rambang, pukat dan lapun. Sedangkan saat banjir, menteban dan pancing tagang.

Lebih rinci, Arief menjelaskan lalo rambang adalah sejenis jala yang terbuat dari anyaman tali senar. Namun ukurannya besar, beratnya sampai belasan kilogram.

Kalau lapun terbuat dari anyaman tali senar yang dibingkai dengan rotan dan ditancapkan di dasar sungai.

Nah, tagang sejenis tajur atau pancing dengan mata kail yang digunakan cukup besar. Umpannya anakan lele.

Generasi terakhir pencari ikan tapah, kini jadi YouTuber

Sekarang Arief generasi terakhir dari pemburu ikan raksasa. Di tempatnya, Desa Pauh, Kecamatan Pauh pemburu ikan tapah hanya dia dan orang-orang yang sudah sepuh.

Penghasilan menangkap ikan tapah memang besar, tetapi dapatnya tidak setiap hari. Untuk ukuran raksasa, Arief dua kali dapat tapah dengan bobot 30 kilogram. Dijual dengan harga Rp 120.000 per kilogram.

"Kalau bobot di atas 100 kilogram belum pernah. Karena kondisi sekarang air tercemar, banyak PETI, dan alat setrum. Paman Saya sering dapat 105 kilogram. Itu rekor," kata Arief menjelaskan.

Untuk tetap melestarikan tradisi berburu tapah, Arief membuat kanal youtube, Arief Maestro Fishing. Dia sudah mendapatkan 110.000 subscriber dan videonya viral dengan 4,7 juta penonton.

Pendapatan Arief pun cukup lumayan. Dia pernah mengantongi uang sebesar Rp 800.000 sampai Rp 56 juta per bulan dari YouTube.

Cerita dikejar ular welang

Saat berburu ikan di malam hari, Arief harus menggunakan senter, naik perahu dan menyelam sampai ke dasar sungai.

Tantangannya itu buaya dan ular welang. Arief mengaku belum pernah bertemu buaya. Namun sering dikejar ular welang, ular paling mematikan.

Ular ini, kata Arief sangat berbisa dan tertarik dengan cahaya senter. Sehingga dalam perjalanan malam, dia kerap menemukan ular itu yang sudah berada di dekatnya.

Untuk menghindari gigitan ular, tentu dengan menjauhkan cahaya senter dari tubuh. Fokus ular pada malam hari, kata Arief adalah cahaya senter.

 

Ancaman: tambang emas ilegal hingga overfishing

Selain ikan tapah, di Jambi juga viral penangkapan ikan pari raksasa berbobot 130 kilogram. Ikan ini tertangkap di Kecamata, Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi.

"Wargo dapat ikan pari di Sungai Batanghari seberat 130 Kg dengan caro maril di Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi," tulis akun Instagram @kabarkampungkitoo, Jumat (14/8/2020).

Ahli taksonomi dan biodiversitas air tawar, Universitas Jambi, Tedjo Sukmono menuturkan setiap perubahan kualitas air yang menurun, karena aktivitas PETI, akan berdampak pada kehidupan biota air termasuk ikan berukuran besar seperti tapah dan pari.

Apabila bobot ikan yang ditemukan di atas 100 kilogram, berarti habitatnya masih mendukung ketersedian makanan.

Tapi jika ditemukan jarang-jarang dan sulit ditemukan lagi, ikan yang berukuran kecil, tentu dapat disimpulkan hanya sebagai area bertahan (refuge area) dari tekanan terhadap lingkungan.

Menurut Tedjo, ancaman ikan-ikan besar saat ini adalah overfishing. Yakni penangkapan dalam skala besar atau berlebih. "Contohnya setrum ikan," katanya kepada Kompas.com. 

Ancaman berikutnya fragmentasi habitat, kerusakan habitat dan penurunan kualitas air. Tentu sudah banyak riset yang dikeluarkan bahwa air sungai Batanghari sudah tercemar karena terdampak PETI.

Kalau untuk ikan pari dengan bobot di atas 100 kilogram usia hidupnya sudah mencapai 20-25 tahun. Sedangkan tapah untuk ukuran yang sama, masih belum diidentifikasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com