KOMPAS.com- Seorang anak lelaki di Tembalang, Semarang, Joseph Arnando (8) harus kehilangan kaki kirinya akibat kanker tulang.
Nando pun kini hanya bisa duduk di kursi roda.
Ia juga harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk menjadi seorang tentara.
Sejak kakinya diamputasi pada Juli 2020 lalu, Nando tak mau lagi bersekolah.
Kepedihan tak hanya dirasakan Nando, ibundanya Okti Christina juga merasakan hal yang sama.
"Orangtua mana yang mau melihat anaknya kehilangan kakinya," tutur Okti pilu.
Apalagi, Okti harus merawat Nando seorang diri dengan kondisi perekonomian yang pas-pasan. Sedangkan, ayah Nando telah meninggal dunia 8 tahun lalu.
Baca juga: Kisah Pilu Selamet, Mata Melotot dan Kulit Melepuh, Dibawa ke RS dengan Uang Pinjaman
Ketika itu putranya masih bersekolah di Taman Kanak-Kanak.
Okti pun ketika itu sempat membawa Nando untuk pijat tradisional lantaran mengira bengkak di kaki anaknya hanya kecapekan biasa.
"Awalnya saya pikir itu bengkak biasa. Tapi jalannya kok pincang. Ternyata baru bilang kalau habis jatuh saat bermain, makanya saya bawa ke tukang pijit tradisional," kata Okti.
"Tapi setelah dua bulan kemudian bengkaknya makin membesar maka saya periksakan ke RS Bhayangkara Semarang," lanjut dia.
Saat itu dokter hanya memberi obat peredam memar dan mengatakan putranya memar biasa.
Baca juga: Malu Kakinya Diamputasi, Bocah 8 Tahun Ini Tak Mau Sekolah
Namun setelah itu, hari demi hari dilalui Nando dengan kesakitan.
Setiap malam, bocah itu tak bisa tidur lantaran menahan sakit di kakinya.
Okti pun kembali membawa Nando ke RS Bhayangkara untuk dirontgen.
Hasil rontgen menyatakan, Nando terkena tumor. Ia pun dirujuk ke RSUD KRMT Wongsonegoro, Semarang.
Di sana, Nando dinyatakan mengidap kanker tulang.
"Kami disuruh rujuk ke RSUD KRMT Wongsonegoro Kota Semarang, barulah diketahui jika anak saya ternyata terkena kanker tulang," kata dia.
Nando sempat menjalani tindakan operasi pengambilan jaringan di RSUP Kariadi Semarang.
Okti memaparkan, dokter menyarankan kaki Nando diamputasi lantaran kanker telah menyerang ke paru-paru.
"Mendengar hal itu (amputasi), saya dan Nando kaget lalu menangis bersama," kata dia.
Baca juga: Kisah Pilu Pasangan Cukup dan Nia yang Hamil 9 Bulan, Tewas Bersama dalam Tabrakan Speedboat
Sebagai orangtua tunggal, Okti harus menanggung beban seorang diri dengan kondisi keuangan yang pas-pasan.
Dengan gaji Rp 60.000 per hari sebagai penjaga kantin sekolah di Sedas Sapientiae Semarang, Okti harus mengupayakan kesembuhan Nando.
Nando masih harus melakukan kemoterapi secara rutin.
Di satu sisi, Okti juga masih memiliki dua anak lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Okti pun terpaksa meminjam uang pada saudaranya.
Sebab, semenjak pandemi, sekolah tempatnya bekerja terpaksa meniadakan pembelajaran tatap muka.
Akibatnya, kini Okti tak memiliki penghasilan.
Namun sebagai seorang ibu, Okti terus menguatkan putranya Nando agar bersemangat menjalani hidup.
"Apapun akan saya lakukan untuk anak saya. Dan semua saya serahkan kepada Tuhan untuk menjaga anak-anak saya," tutur dia.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Kontributor Semarang, Riska Farasonalia | Editor: Aprilia Ika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.