Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gadis 14 Tahun Putus Sekolah dan Jadi Buruh Ikat Rumput Laut demi Hidupi Keluarganya, Eks TKI Malaysia

Kompas.com - 11/08/2020, 13:50 WIB
Ahmad Dzulviqor,
Khairina

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Thresia Lipat Lema (14), memilih berhenti sekolah dan memutuskan menjadi buruh ikat rumput laut.

Keputusan ini datang dari kesadarannya sendiri melihat kondisi kedua orangtuanya yang sakit sakitan dan hanya bisa berharap kesadaran dari anak anaknya.

Anak kelima dari pasangan Yohanes Abdullah (55) dan Maria Lipat Lema (45) warga Rt.031 Kampung Timur kabupaten Nunukan Kalimantan Utara ini memilih mengalah tidak melanjutkan sekolahnya ke SMP dan merelakan kakak kakaknya Emanuel Gorang Sili (19) dan Mariana Nugi Molan (17) untuk melanjutkan sekolah.

Sementara ia akan fokus membantu orangtuanya mendapatkan penghasilan.

‘"Sudah berhenti (sekolah), kasihan orangtua, tidak ada mereka punya uang, tidak ada kerja, sayalah bantu mereka, biarlah berhenti sekolah, nanti kalau ada uang terkumpul bisa lanjut sekolah,’’ujar Thresia, Minggu (9/8/2020).

Baca juga: Protes Soal PPDB Jalur Zonasi, Bupati Taput Khawatir Banyak Anak Putus Sekolah

Ditemui di rumahnya, Thresia terlihat tegar dan mencoba terlihat riang, sesekali ia menjawab pertanyaan dengan isyarat dengan mata sembab, seakan menahan sesuatu yang berat.

‘’Saya maunya lanjut sekolah, tapi uang dari mana, saya mabettang (mengikat benih rumput laut) untuk beli makan,’’katanya.

Tinggal dalam rumah seng penuh tambalan dan bocor

Keadaan keluarga Thresia cukup memprihatinkan. Mereka menempati sebuah bangunan dengan material seng usang penuh tambalan, karat dan lubang di banyak bagian.

Bangunan yang layak disebut bedeng dengan ukuran 4 x 6 meter ini menjadi tempat tinggal keluarga besar Thresia.

Mereka merupakan eks TKI Malaysia yang dideportasi pada tahun 2003 saat pemerintah Malaysia melakukan pemutihan besar besaran.

Ibunda Thresia, Maria Lipat Lema mengatakan, sebelumnya ada 8 orang yang tinggal di rumah tersebut, namun anak tertuanya Agustina Sitti (22) baru menikah dan sudah tinggal terpisah.

‘’Inilah semua kami tinggal, kalau hujan, basah semua, bocor, tempias ke mana-mana, tapi saya cuma bilang sama anak-anak, sabar ya Nak, keadaan kita memang seperti ini,"kata Maria berkaca-kaca.

Baca juga: Remaja Putus Sekolah yang Jago Membuat Sketsa Dikunjungi Utusan Jokowi

Keadaan tersebut bermula saat Yohanes Abdullah mengalami sakit yang membuat kedua kaki dan tangannya terkadang mengeras, tak bisa digerakkan, dan sangat ngilu yang memaksanya lebih sering duduk di rumah.

Sementara Maria Lipat Lema juga mengalami gangguan di bagian kepala yang membuatnya terkadang meraung karena menahan sakit bagai ada paku tertancap di bagian dalam kepalanya sehingga ia lebih sering menghabiskan waktu berbaring.

Bahkan, untuk sekedar memasak, kepalanya akan berdenyut hebat dan pandangannya langsung gelap.

Alasan ekonomi, lagi-lagi membuat mereka hanya mengandalkan obat warung, pil rematik menjadi andalan ketika penyakit Yohanes datang, demikian pula obat sakit kepala biasa menjadi konsumsi wajib saat Maria Lipat Lema mengeluhkan kondisi kepalanya.

"Kondisi kami seperti ini, bapak yang biasa cari kayu buat masak di hutan tidak bisa jalan kalau kambuh sakitnya, tidak ada kami mau anak kami tidak sekolah, tapi dari mana uangnya,"keluhnya.

Kebutuhan pangan mereka selama ini mengandalkan anak keduanya, Marianus Sanga Woni (20).

Marianus menuturkan, ia sedang mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan, pekerjaan ini juga tidak bisa diharapkan, saat ada kerja ia akan membawa pulang beras, garam atau bahan masakan lain, tapi ketika tidak dapat pekerjaan, ia pun kadang tak makan.

‘’Saya tidak sekolah, tidak pandai baca tulis, itu saja yang saya bisa, memang tidak menentu tapi halal, kalau ada kita bagi, kalau tidak, ya namanya tidak ada mau diapa?.’’katanya.

Sering tidak punya makanan

Selain kondisi rumah yang demikian memprihatinkan, bangunan sekecil itu dengan dihuni 7 orang tentu sangat sesak.

Keluarga ini tidak pernah punya tabung gas LPG dan kompor, mereka hanya memasak menggunakan kayu bakar, dan seringkali hanya merebus dedaunan untuk dimakan.

Seperti saat KOMPAS.com mengunjungi rumah keluarga ini, terlihat bara kayu bakar masih mengepul bekas merebus daun singkong, asap dari tungku membuat seisi rumah dipenuhi asap dan mengganggu pernapasan.

‘’Kadang kami enggak makan karena memang tidak ada uang, tetangga kadang kasih nasi, kita makan sama sama,’’lanjutnya terisak sesekali mengusap matanya yang basah.

Baca juga: Tak Lolos PPDB Jakarta, Pelajar Peraih Ratusan Penghargaan Akhirnya Putus Sekolah

Dari 5 orang anak, termasuk si bungsu Maria Dellya (7) yang masih menempati rumah seng tersebut, hanya Mariana dan Emanuel yang bersekolah.

Mereka masih semangat meski setiap hari harus berjalan kaki ke sekolah.

Mereka berharap bisa segera bekerja ketika lulus sekolah.

Emanuel yang duduk di bangku kelas X SMKN I Nunukan berharap bisa segera lulus dan bekerja.

Begitu juga Mariana, yang masih duduk di bangku kelas IX SMP PGRI Nunukan, ia ingin masuk SMKN I Nunukan dan mengikuti jejak abangnya.

‘’Saya ingin kerja, bantu oran tua, saya ingin kami punya rumah dan bisa tenang tanpa harus kehujanan dan sakit orangtua tidak bertambah parah,’’kata Mariana.


Gantian pakai ponsel untuk belajar daring

Kebijakan belajar daring membuat Emanuel dan Mariana menghela napas berat. Mereka selama ini hanya punya 1 ponsel yang kadang mati tiba-tiba.

Ponsel itu pula yang digunakan oleh keluarga ini secara bergantian.

Belakangan, karena ponsel sering hang dan sulit menyala, Mariana berinisiatif berjalan kaki ke sekolah meminta Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk dikerjakan di rumah.

‘’Tidak apa tidak ada ponsel, masih bisa ambil lembar soal di sekolah, itu dikerja di rumah, kadang mama meski sakit mau temani ambil kertas itu,’’tutur Mariana.

Mariana harus berjalan 1 jam ke sekolahnya. Seringkali ia dan mamanya beristirahat di tempat teduh, di bawah pepohonan atau bangunan pinggir jalan, karena tak jarang kepala mamanya berdenyut sakit jika terlalu lama terkena terik matahari.

Keadaan ini pula yang membuat Thresia semakin yakin memutuskan membantu abangnya Marianus Sanga Woni untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Thresia mengatakan, tidak apa jika dia tidak sekolah, asal sehari bisa membawa uang Rp.70.000 sudah cukup untuk makan sekeluarga.

Dalam sehari, Thresia bisa menyelesaikan 12 tali rumput laut dengan upah Rp 9.000 per tali, dipotong ongkos angkutan umum dan uang makan, ia masih bisa memberi orangtuanya Rp.70.000 untuk dibelanjakan sembako.

Namun lagi lagi, mengikat tali rumput laut juga tergantung kondisi laut dan harga di pasaran, Ketika harga tinggi, pekerjaan ini bisa dikerjakan rutin, sementara ketika harga anjlok, tidak sedikit petani rumput laut gantung tali, dan memilih menunggu harga membaik.

Artinya, berimbas pada banyak orang yang bergantung pada pekerjaan ini termasuk Thresia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com