Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpuruk Hadapi Resesi, Para Petani Pun Merugi

Kompas.com - 07/08/2020, 16:36 WIB
Rachmawati

Editor

"Permintaan dari konsumen rendah, sedangkan kita produksi jalan terus. Jadi di penampungan terkendala dan harga jadi hancur."

Baca juga: Rayakan Panen Raya Hidroponik, Petani di Sigi Bangkit dari Bencana

Tamiruddin, petani padi: "Tidak ada lagi harapan"

Di penjuru lain Indonesia, Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara, seorang petani menuturkan kondisinya pada BBC Indonesia.

Sebelum masa pandemi Covid-19, Tamiruddin, petani itu, mengelola sawah seluas tiga hektar are miliknya, dengan sekali masa panen mencapai 300 karung gabah padi.

Namun pada musim tanam yang berlangsung saat pandemi, Tamiruddin hanya mengelola satu hektar area sawah.

Tak pelak hasil panen pun menurun, bahkan hanya 50 karung per hektar dari sebelumnya 100 karung per hektar. Ia mengirit-irit pupuk yang dimilikinya karena harus menunggu masuknya pasokan pupuk dari luar daerah.

Baca juga: Petani di Bolmong Gagal Panen Akibat Banjir, Kementan Minta Petani Ikut Asuransi untuk Antisipasi

"Setelah [padi] dimakan tikus, kita mau pupuk kembali untuk naik [tumbuh] kembali itu yang dimakan tikus," keluh Tamiruddin yang stok pupuknya sudah berkurang.

Aktivitas pengiriman pupuk dari luar Pulau Buton melalui jalur kapal laut sempat terhenti saat pandemi karena pembatasan sosial. Selama pandemi para petani hanya memperoleh pupuk satu kali, yakni pada April lalu.

Penghasilan petani seperti Tamiruddin pun anjlok. Di sisi lain, Tamiruddin menuturkan ada pengeluaran tambahan yang harus dipenuhinya saat pandemi: ongkos pulsa.

Baca juga: Petani Pembakar Lahan Ditangkap, Walhi Minta Jangan Langsung Dipenjara

Dua orang anak Tamiruddin tengah berkuliah dan selama pandemi belajar dari rumah secara daring yang mau tak mau membutuhkan biaya lebih untuk penyediaan kuota internet.

"Otomatis penghasilan berkurang. Yang tadinya kita harapkan ada sisa yang bisa kita gunakan untuk menginginkan yang ini, ternyata dengan adanya [Covid-19] kita tidak ada lagi harapan," ungkap petani berusia 50 tahun tersebut.

"Kalau [wabah virus] corona masih tetap seperti begini, jelas akan habis yang kita simpan. Mana kita biayai anak-anak kuliah segala."

Baca juga: Korban Arisan HA dari Berbagai Kalangan, Mulai Petani hingga ASN

'Resesi di depan mata'

Indonesia mencatatkan penurunan ekonomi sebesar -5,32% pada kuartal II 2020, turun drastis dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut Badan Pusat Statistik pada Rabu (05/08). Ini adalah kontraksi ekonomi pertama di Indonesia dalam lebih dari 20 tahun terakhir. Aloysius Jarot Nugroho/ANTARA Indonesia mencatatkan penurunan ekonomi sebesar -5,32% pada kuartal II 2020, turun drastis dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut Badan Pusat Statistik pada Rabu (05/08). Ini adalah kontraksi ekonomi pertama di Indonesia dalam lebih dari 20 tahun terakhir.
Indonesia mencatatkan penurunan ekonomi sebesar -5,32% pada kuartal II 2020, turun drastis dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut Badan Pusat Statistik pada Rabu (05/08).

Ini adalah kontraksi ekonomi pertama di Indonesia dalam lebih dari 20 tahun terakhir.

Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan bahwa kontraksi PDB itu berarti "situasi resesi ekonomi sudah di depan mata."

"Di kuartal III kemungkinan besar kita akan resesi, kalau melihat kuartal II ini kita cukup dalam minusnya," kata Bhima.

Baca juga: Kisah Paskalis, Anak Petani dari Papua Mengejar Mimpi ke Amerika Demi Keluarga, 10 Tahun Tak Bertemu Ibu

"Tapi ini ketika penurunannya relatif tajam secara year-on-year, maka bisa dikatakan ini resesi technical, jadi secara data ini sudah menunjukkan adanya resesi karena penurunannya cukup tajam karena tidak mungkin di kuartal III bisa kembali positif."

Pada kuartal I pertumbuhan PDB Indonesia masih positif sebesar 2,97%, sedangkan pada kuartal II minus 5,32%. INDEF memprediksi bahwa penurunan di kuartal III akan sebesar -1,7%.

"Yang perlu diperhatikan ini kan adanya penurunan tajam pada konsumsi rumah tangga, karena adanya pandemi membuat masyarakat tidak yakin untuk berbelanja, dan akhirnya berpengaruh juga pada industri manufaktur yang turun dan sektor perdagangan turun."

Baca juga: Mentan Apresiasi Usaha Petani Purworejo Jaga Lahan Pertanian dengan Saluran Irigasi

Dalam data ekonomi Indonesia kuartal II yang dirilis BPS, diketahui pula adanya deflasi, atau penurunan harga, sebesar minus 0,10 persen untuk bulan Juli, jika dibandingkan dengan Juni.

Penurunan harga terbesar terjadi di kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan minus 0,73 persen. Produk petani seperti beras, bawang merah, bawang putih, dan cabai rawit merupakan komiditas pangan yang turun harganya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam sebuah webinar bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada Rabu (05/08), menanggapi masalah deflasi dengan mengatakan bahwa pemerintah akan tetap berusaha menjaga kestabilan harga-harga produk dan jasa di tengah pandemi.

"Pemerintah akan melihat kalau indikator menunjukkan income dan daya beli menurun maka pemerintah akan gunakan instrumennya untuk mendukung itu, dari mulai bansos, dukungan terhadap UMKM, sektor usaha, sehingga dia tetap menjaga dari sisi employment-nya agar tidak terjadi PHK dan mendorong investasi, karena itu akan menentukan kestabilan ekonomi," jelasnya.

Baca juga: Soal Hama Tikus di Jombang, Mentan SYL Minta Petani Lakukan Penanganan Cepat

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com