Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Transpuan Menjadi Pejabat Publik di Sikka, Bunda Mayora: Berkatilah Seluruh Kegiatanku

Kompas.com - 04/08/2020, 13:01 WIB
Rachmawati

Editor

Siapa Bunda Mayora?

Habi adalah salah satu desa di pinggiran Kota Maumere, Kabupaten Sikka, NTT.

Jumlah penduduk Sikka sebanyak 321 ribu jiwa di mana pemeluk agama Islam adalah minoritas atau 7,5%, sedangkan mayoritas adalah pemeluk agama Kristen.

Pada 2019, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sikka sebesar 64,75 di bawah rata-rata angka nasional yaitu 71,92. Sementara itu, rata-rata lama sekolah penduduknya tak sampai kelas 2 SMP.

Henderikus Kelan yang kini lebih dikenal Hendrika Mayora Victoria lahir di Desa Habi, 34 tahun lalu. Saat berusia 6 bulan, ia sudah dibawa merantau orangtuanya ke Merauke, Papua.

Baca juga: Taman Semenep Menteng, dari Tempat Mangkal Waria Jadi Spot yang Instagramable

Ia mulai merasakan tanda-tanda sebagai seorang perempuan sejak SD.

"Sudah mulai pakaian perempuan misalnya, (pakai) mama punya daster. Nekat bermain film India, kelambu itu kami gunting dan bentuk seperti gaun. Terus dijadikan baju untuk baju pengantin," kata Mayora.

Jati dirinya sebagai perempuan pun makin kuat saat beranjak remaja.

"Mimpi basah bukan bertemu dengan cewek tapi bertemu dengan cowok. Terus dibelai-belai seperti India-India kayak gitu," kata Mayora yang mengaku punya impian menjadi seorang pastor.

Baca juga: Seorang Waria Gadaikan Motor Rental untuk Beli Make Up

Ia kemudian melanjutkan pendidikan Seminari Menengah di Merauke untuk menjadi bruder atau biarawan Katolik.

"Waktu di Seminari, saat mandi, yang lain mandi telajang merasa biasa. Kalau saya mandi tutup handuk, duh tidak mau telanjang di antara laki-laki," kata Mayora sambil tersipu.

Tapi itu, belum cukup meyakinkan dirinya sebagai perempuan.

"Saya menutup rapat benar-benar identitas genderku. Dan bahkan saya malu, saya takut ketika mendengar kalau orang bilang saya waria," katanya.

Baca juga: Simpan Sabu di Pakaian Dalam, Seorang Waria Ditangkap

Komunitas transpuan Fajar Sikka mengibarkan bendera di pantai Koka, NTTdok BBC Indonesia Komunitas transpuan Fajar Sikka mengibarkan bendera di pantai Koka, NTT
Pergumulan sebagai seorang transpuan dengan agama yang dianutnya terus berlanjut.

Pada 2008 ia melanjutkan pendidikan formatio sebagai Bruder di Yogyakarta di Rumah Formatio Bruder CSA.

Tapi 2015, Mayora memutuskan keluar dari biara dan kembali ke Merauke. Ia sempat mengajar dan melakukan pelayanan pada umat di Papua.

"Pas lagi keluar itu saya bergumul berat sekali. Saya tersiksa dengan identitas gender saya, identitas iman saya, identitas seksualitas saya," katanya.

Lalu, pada 2017, Mayora memutuskan kembali lagi ke Yogyakarta, berharap pergumulan identitas gendernya selesai, sehingga bisa menjadi laki-laki seutuhnya.

Baca juga: Kisah Pemimpin Pesantren Bela Hak Waria hingga Raih Penghargaan Pejuang HAM

"Siapa tahu saya menjadi laki-laki yang baik ketika saya di luar Merauke," katanya.

"Tapi sampai di sana (Yogyakarta) juga sama. Saya tidak sembuh. Padahal tiap hari itu pergi ke gereja, sembahyang, doa. Saya tidak sembuh dari pergumulan identitas gender dan orientasi seksual saya juga soal dosa iman Kristiani saya."

Selama pergumulan melawan diri sendiri ini, Mayora mengaku sampai mengalami vertigo, susah tidur, dan punya keinginan untuk mengakhiri hidup.

Akhirnya, Mayora memutuskan untuk menjadi transpuan seutuhnya setelah bertemu dan mendapat inspirasi dari salah satu tokoh waria di Yogyakarta, Rully Malay.

Baca juga: Cerita di Balik Ponpes Waria, Mengenal Tuhan Melawan Stigma hingga Dapat Penghargaan HAM

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com