Contohnya, di sekolah negeri tempat menginduk, ia hanya mendapat sedikit jam pelajaran. Setiap dua hari per minggu, dari pagi sampai jam 10 WIB.
Untuk memenuhi persyaratan jam mengajar, ia akhirnya mengajar di sekolah swasta.
Belum lagi kebutuhan ekonomi keluarga yang terus meningkat, seiring pendidikan anaknya yang semakin tinggi.
Hingga kini ia bahkan belum bisa memutuskan apakah anak terbesarnya akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau bekerja, karena keterbatasan ekonomi.
“Sampai sekarang saya masih nebeng di rumah mertua. Ke sekolah juga pakai motor. Kalau ada guru honorer pake mobil, itu biasanya suami istri bekerja. Kalau kaya saya, pakai motor saja,” ucap dia.
Bahkan untuk keperluan mengajar online, pada semester sebelumnya ia kerap numpang di temannya yang memasang wifi.
Sebab jika ia memaksakan diri menggunakan kuota, biayanya terlalu besar dan kualitasnya sering terputus.
“Kalau sekarang dah pasang wifi di rumah. Untuk bayarnya, nanti saya cari,” ungkapnya sambil tertawa.
Orang yang dikontak Heru adalah Rizki Aafari Rakhmat. Ia seorang Guru Tidak Tetap (GTT) SMAN 9 Bandung yang menginisiasi pembentukan Forum Guru Honorer Bersertifikasi Sekolah Negeri (FGHBSN).
Rizki mengatakan, forum itu dibentuk karena ribuan guru non-PNS bersertifikat pendidik sudah bertahun-tahun belum bisa mendapat TPG. Salah satu kendalanya, belum keluarnya SK Gubernur.
Karena itulah, para guru honorer ini berjuang bersama-sama mengawal SK gubernur tersebut, hingga akhirnya 1.461 guru honorer mendapat SK Penetapan Penugasan Guru Non-PNS untuk tingkat SMA, SMK dan SLB, 29 Juli 2020.
“Saat menerima SK, yang sepuh-sepuh ini sujud syukur dan menangis. Saya terharu dan akhirnya ikut menangis juga,” ungkap Rizki.