Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Paskalis, Anak Petani dari Papua Mengejar Mimpi ke Amerika Demi Keluarga, 10 Tahun Tak Bertemu Ibu

Kompas.com - 02/08/2020, 15:01 WIB
Rachmawati

Editor

Tidur di gudang sekolah

Setelah lulus SMP, Paskalis pindah ke Distrik Minditanah untuk melanjutkan SMK.

Saat itu ia tinggal bersama dengan kakak asuhnya. Selama pindah, Paskalis tidak pernah komunikasi dengan keluarganya.

“Nggak ada komunikasi lagi sama ibu, karena mereka tinggal di kampung yang jauh kan, di kamp pengungsian. Jauh sekali, pas di perbatasan, jadi susah komunikasi,” jelas mahasiswa kelahiran tahun 1989 ini.

Selama tiga bulan pertama, kakak asuhnya yang membantu membayar uang sekolah. Namun setelah itu ia harus membiayai sekolahnya seorang diri hingga lulus.

Baca juga: Konflik Nduga Papua, Korban Berjatuhan dan Demonstrasi Tuntut Keadilan...

Paskalis muda biasanya bekerja mengangkat batu dan pasir di salah satu sungai untuk mendapatkan uang.

“Kita sekolah cuma setengah hari, dari jam 8 sampai jam 1. Jadi, biasa sore hari itu saya angkat pasir, angkat batu pasir di salah satu sungai, untuk cari uang."

"Simpan untuk bayar setiap SPP. Kalau makan, biasa saya makan setiap hari dengan kakak asuh, di mana saya tinggal,” ceritanya.

Berhasil tamat SMK, Paskalis lalu bekerja sebagai guru Bahasa Inggris murid kelas 3-6 di SD Negeri 2, di kabupaten Boven Digoel, selama satu setengah tahun.

Ia pun kembali termotivasi untuk terus melanjutkan pendidikan, untuk mengubah nasib hidupnya.

Baca juga: Satgas Temukan Penumpang Pesawat yang Masuk ke Papua Positif Covid-19

Tahun 2011 ia pun memutuskan untuk merantau di Merauke dan melanjutkan kuliah di Universitas Musamus Merauke jurusan Bahasa Inggris.

Ia mendapatkan beasiswa Bidikmisi untuk mahasiswa yang tidak mampu tapi memiliki potensi di bidang akademik.

Menurut Paskalis, ia memilih jurusan Bahasa Inggris karena belum banyak guru Bahasa Inggris di Boven Digoel dan Papua Selatan.

“Bahasa Inggris sangat penting dan termasuk dalam Ujian Nasional. Maka harus SDM-nya cukup, untuk menjawab persoalan kekurangan tenaga guru bahasa Inggris,” jelas pria yang hobi berburu ini.

Baca juga: 28 Kabupaten di Papua Akan Lakukan Adaptasi New Normal, Sekolah Diizinkan Dibuka

Karena tak memiliki keluarga di Merauke, Paskalis tinggal di pastoran Katolik di Merauke yang jaraknya sekitar 2 jam jalan kaki.

Ia jalan kaki ke kampus selama 3 bulan pertama hingga bertemu dengan salah seorang dosen.

Sang dosen yang kasihan melihat Paskalis berjalan jauh, menawarkan Pasklis tinggal di tempat yang lebih dekat dengan kampus yakni gudang SMA Negeri 3 Merauke.

“Jadi dia berikan tempat yang dulu itu gudang salah satu SMA Negeri 3 Merauke. Kebetulan SMA itu berdekatan dengan kampus yang saya kuliah. Jadi Puji Tuhan, saya bisa tinggal di situ, jarak dekat dan saya bisa selesai.”

Baca juga: 5 Fakta Anjing Bernyanyi Papua yang Viral, dari Hampir Punah hingga Tak Bisa Menggonggong

Bertemu ibu setelah 10 tahun

Paskalis Kaipman, mahasiswa S2 di American University di Washington, D.C. asal Boven Diegol, Papua (dok: Pribadi)Dokumen Paskalis Kaipman Paskalis Kaipman, mahasiswa S2 di American University di Washington, D.C. asal Boven Diegol, Papua (dok: Pribadi)
Pada tahun 2016 Paskali akhirnya lulus kuliah dan bekerja di salah satu LSM.

Di tahun yang sama Paskalis pun memutuskan untuk pulang menemui keluarganya.

Ia harus menempuh perjalanan selama tiga hadi dari Merauke menuju ke kampungnya di Boven Dogoe.

“Itu jalan darat jalan darat semua. Tapi nanti sampai di kabupaten, dari kabupaten ke distrik. Nanti dari distrik ke kampung itu yang kita biasa berjalan kaki. Itu jalan setapak, jalan hutan,” kata Paskalis.

Satu-satunya cara ke kampungnya adalah dengan berjalan kaki melalui belantara yang memakan waktu sekitar satu hari.

Baca juga: Jokowi Sumbang Seekor Sapi Kurban Seberat 1 Ton untuk Papua

Kala itu tidak ada keluarganya yang tahu jika Paskalis akan pulang karena sulitnya berkomunikasi langsung dengan keluarga.

Ia hanya bisa mengirimkan kabar di perbatasan pada seseorang yang lebih dulu pulang ke kampung.

Mendengarkan kabar anaknya akan pulang, sang ibu berjalan kaki dari kampung melewati hutan dan menunggu Paskalis di ujung distrik.

“Jadi ketika saya sudah sampai di dekat perbatasan, baru sempat kirim berita lewat orang yang mau duluan ke kampung. Jadi orang sudah kasih tahu. Jadi ibu, dari kampung, dia sudah datang lewat hutan. Sudah tunggu saya di ujung distrik,” ujarnya.

Baca juga: Foto Viral Anjing Bernyanyi di Papua, Tak Bisa Menggonggong dan Dianggap Sakral

Paskalis mengaku sempat tak mengenali ibunya setelah 10 tahun tak bertemu.

“Saya tidak kenal beliau, karena ibu semakin…apa yah…sedih sih melihat ibu. Dulu saya melihat ibu masih pakai baju bagus, masih pakai celana bagus, waktu masih ada Bapak."

"Sekarang ibu bajunya robek, sampai bagian dada, susunya keluar. Terus pikul noken, terus dengan kayu bakar, pegang parang, sebelah pegang bambu air,” ceritanya.

“Sampai saya bilang, ‘ah bukan Ibu.’ Sudah terlalu apa ya, kayak tambah parah begitu. Tapi, Ibu feeling-nya sudah tahu, kalau ini anaknya."

Baca juga: Mahfud MD Sebut Anggota KKB di Papua Masih Berstatus WNI

"Jadi langsung Ibu menangis, terus Ibu teriak, ‘anakku… anakku.’ Langsung ibu datang, peluk saya. Saya berlutut, saya menangis, cium kaki Ibu ya Setelah itu baru kami sama-sama pulang ke rumah,” kenangnya lagi.

Bukan hanya Paskalis yang awalnya tidak mengenali sosok ibunya sendiri, namun, adiknya yang paling kecil, sama sekali tidak mengenalnya, karena dulu masih berumur sekitar satu minggu sewaktu Paskalis meninggalkan kampungnya.

Adik-adiknya pun sangat bangga melihat pencapaian kakaknya.

Menurut Paskalis, adiknya ikut bangga saat mengetahui ia bisa menyelesaikan sekolah. Mereka bahkan berencana ikut dengan Paskalis.

Baca juga: Mendagri: Kalau Kurang Pasukan di Papua, Kita Tambah

“Mereka bilang, ‘kita bisa ikut kakak pergi ndak?’ Saya bilang, ‘belum. Nanti, kakak pasti datang. Kakak pulang, nanti, kakak sudah punya rumah baru, kamu bisa ikut kakak."

"Dari kampung, pergi ke kota, tinggal di kita punya rumah sendiri,’” ujar Paskalis saat menceritakan harapan adik-adiknya.

Saat pulang, Paskalis lalu meminta restu sang Ibu untuk melanjutkan pendidikan S2. Walau masih belum tahu bagaimana caranya, doa ibunya pun menyertainya.

“Ibu bilang, ‘Nak, jalan. Pasti Mama berdoa. Berdoa untuk engkau. Jangan pikir kami. Engkau pergi, kejar apa yang kau sudah cita-citakan. Jadi tidak boleh pikir kami, tidak boleh pikir adik adik.’”

Baca juga: Mahfud MD Minta Aparat di Papua Tak Mudah Terpancing Provokasi

Mengejar mimpi ke Amerika

Paskalis Kaipman di seberang Gedung Putih di Washington, D.C. (dok: Paskalis Kaipman)Dokumen Paskalis Kaipman Paskalis Kaipman di seberang Gedung Putih di Washington, D.C. (dok: Paskalis Kaipman)
Demi mimpinya untuk memperbaiki ekonomi keluarganya, Paskalis kembali berjuang untuk meneruskan S2 nya.

Ia kemudian merantau ke Jayapura yang ia yakini menyimpan banyak informasi mengenai beasiswa.

Karena tak ada yang ia kenal dan belum punya tempat tinggal, Paskalis mencari tahu keberadaan warga Boven Digoel di Jayapura.

Beruntung ia bertemu dengan mahasiswa Boven Digoel yang menawarkannya tempat tinggal di Jayapura.

Baca juga: 7 Hari Terombang-ambing hingga Jayapura, 6 Warga Papua Nugini Makan Kelapa untuk Bertahan

Sambil mencari beasiswa, tahun 2017, Paskalis mulai bekerja di perusahaan Agri Spice Indonesia di Sentani.

Enam bulan berjalan, ia memutuskan untuk mendaftar beasiswa LPDP atau Lembaga Pengelola Dana Pendidikan di bawah Kementerian Keuangan Indonesia.

Salah satu pilihannya pada waktu itu adalah beasiswa Indonesia timur, yang ditujukan salah satunya bagi penduduk asli provinsi Papua.

“Puji Tuhan, saya lulus,” kata Paskalis.

Baca juga: 36 Anggota TNI di Papua Barat Positif Corona

Sebagai penerima beasiswa Indonesia Timur, Paskalis menapatkan tiga pilihan negara yakni Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Ia memilih yang terakhir.

“Luar biasa sekali punya kesempatan yang baik dari pemerintah Indonesia melalui LPDP, mempercayakan saya sebagai anak Papua, untuk datang kuliah di Amerika,” tambahnya.

Jalan untuk meraih pendidikan S2 di Amerika Serikat sudah terbuka lebar. Sebagai anak muda dari Boven Digoel, ia merasa bangga dan bahagia bisa meraih beasiswa hingga ke Amerika Serikat.

Namun, di saat yang sama, pencapaian ini menjadi salah satu titik terberat dalam hidup Paskalis.

Baca juga: Jaga Kawasan Pantai Papua, Sejumlah Relawan Lakukan Sulam Mangrove

Ia dihadapi kenyataan bahwa ia harus kembali meninggalkan beban dan tanggung jawabnya, yaitu membantu ibu dan adik-adiknya.

“Itu yang menjadi hal yang, ‘aduh, sudah mau putus asa, nih. Saya pulang aja sudah.’ Kasihan Ibu sendiri setengah mati. Ibu juga kurang normal. Kenapa saya harus egois, pikir saya, untuk mencapai suatu tujuan yang butuh waktu lama,” ungkapnya.

Paskalis menyadari bahwa gelar sarjana S1 yang ia miliki tidak akan membuatnya mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup adik-adiknya yang tidak bersekolah.

Tak hanya itu, ia juga memikirkan masa depan Boven Digoel, yang menurutnya sumber daya manusia di sana masih kurang.

Baca juga: Polisi Sita 3 Koli Atribut Negara Republik Federal Papua Barat di Pegunungan Bintang

Ia pun lalu bangkit dan percaya bahwa semua ini harus ia jalani, demi membawa perubahan dalam kehidupannya dan juga Boven Digoel.

“Saya bisa menjadi aset untuk memberi perubahan di sana. Itu motivasi-motivasi saya,” tegasnya.

Sekitar setahun ia mempersiapkan semuanya. Ia pun berangkat ke Amerika Serikat pada Agustus 2019.

Kini, Paskalis tengah menjalani program S2 jurusan kebijakan pendidikan dan kepemimpinan, di American University di Washington, D.C.

Baca juga: Pemerintah Tuntaskan 7 Fasilitas Umum di Papua Pasca-kerusuhan

Ia bertekad untuk meningkatkan pendidikan di Boven Digoel dan daerah lainnya yang masih tertinggal.

“Itu bisa lebih baik lagi dengan mungkin ada regulasi yang bisa mengatur tentang tenaga guru yang merata,” jelasnya.

Kekhawatiran akan budaya dan pendidikan di Amerika Serikat yang menurutnya “sangat maju dan berkembang,” sempat melanda pikirannya.

Ia melihat ketimpangan pendidikan antara Papua dan Jakarta. Apalagi Amerika yang menurutnya “sangat jauh sekali” perbedaannya.

Baca juga: Gempa Hari Ini: M 7,3 Guncang Papua Nugini, Tektonik Area Cukup Rumit

Perbedaan inilah yang membuatnya jadi banyak belajar dari Amerika.

“Dari disiplinnya, sistem pendidikannya, terus ketaatan dalam perkuliahan. Jadi tidak bisa kami nyontek. Memang strict sekali kalau di Amerika. Terus kami kumpul tugas itu tidak bisa lebih sedikit telat dari waktu yang sudah ditentukan atau hari.”

Telpon Ibu dari Amerika, “Nak, jangan tipu ibu.”

Paskalis Kaipman (kiri) bersama teman-teman di Amerika Serikat (dok: Paskalis Kaipman)Dokumen Paskalis Kaipman Paskalis Kaipman (kiri) bersama teman-teman di Amerika Serikat (dok: Paskalis Kaipman)
Saat mengharukan adalah saat Paskalis mengabari ibunya, bahwa ia kini sudah berada di Amerika Serikat.

“Ibu bilang, ‘Nak, jangan tipu ibu. Aku yang melahirkan kamu, nggak boleh tipu orang tua seperti itu.’

"Sampai ibu tidak percaya kalau saya di Amerika. Karena Ibu tidak yakin saya bisa sampai di (Amerika). Dengan kami punya keadaan seperti itu, keterbatasan kami,” ceritanya.

“Tapi, ketika kedua kali telpon, terus kami bisa video call, setelah itu baru ibu lihat saya dengan air mata. Ibu tidak bicara. Ibu cuma diam saja, dengar.

"Setelah telpon selesai, baru ada saudara yang saya chat, ‘Mama bilang, mama tidak ada pesan apa-apa yang penting engkau sehat, mama selalu doa sampai kita ketemu kembali,” lanjutnya.

Baca juga: Ridwan Kamil Bantu Mahasiswa Papua dan Kampanyekan Antirasialisme

Tidak boleh putus asa

Pengalaman hidupnya yang luar biasa telah membawanya ke titik hidup yang sekarang. Tak lupa Paskalis berterima kasih kepada semua orang yang telah membantunya hingga hari ini, yang satu persatu membantunya dalam meraih cita-citanya.

“Pasti Tuhan akan buka jalan dengan caranya Dia. Yang penting ada mimpi, tidak boleh ragu dengan segala kekurangan untuk meraih mimpi itu atau cita-cita itu."

Baca juga: Tuntut Referendum, Aksi Mahasiswa Papua di Ambon Dibubarkan Polisi

"Yang penting ada niat, semangat, tekun dan terus belajar, berdoa dan bekerja, kemudian selalu rendah hati,” ujarnya.

Seperti moto hidupnya, “saya pasti bisa,” Paskalis berharap dapat mencapai keberhasilan, sebagai tanda terima kasihnya kepada semua yang telah berjasa dalam kehidupannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com