Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik Nduga Papua, Korban Berjatuhan dan Demonstrasi Tuntut Keadilan...

Kompas.com - 31/07/2020, 09:01 WIB
Rachmawati

Editor

Pegiat HAM Papua yang menjadi bagian dari Tim Solidaritas untuk Nduga, Theo Hasegem mengungkapkan mereka meninggal di tangan aparat keamanan dan meninggal dalam kelaparan dan sakit dalam pengungsian.

"Sejak satu tahun delapan bulan kita lihat tidak ada perubahan sama sekali, korban terus berjatuhan," kata Theo.

Baca juga: Kabar Pengunduran Diri Wakil Bupati Nduga dan Bantahan Pemerintah

Dia menambahkan, jika ditambah 16 pekerja proyek Trans Papua yang diduga tewas ditembak TPNB-OPM, total kematian akibat operasi bersenjata di Nduga menjadi 257 orang.

Sementara ribuan warga mengungsi ke sejumlah daerah, seperti Wamena, Lani Jaya, Timika, Jayapura dan Puncak.

Pada Juli 2019, Kementerian Sosial mencatat setidaknya ada 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik di Wamena, Lanijaya, dan Asmat.

Merujuk data Kemensos, 53 orang dilaporkan meninggal dunia. Angka ini jauh di bawah data yang dihimpun oleh Tim Solidaritas untuk Nduga pada saat itu, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga mengungsi dan 139 di antara mereka meninggal dunia.

Baca juga: Hingga Senin, Kemendagri Belum Terima Surat Pengunduran Diri Wakil Bupati Nduga

Pola baru penanganan konflik

Dalam demonstrasi Senin lalu, masyarakat juga menyuarakan tuntutan agar pemerintah pusat menarik pasukan TNI/Polri dari Nduga.

Sementara Ketua DPRD Nduga, Ikabus Gwijangge mengatakan perlu ada pola baru dalam menangani konflik di Nduga.

"Kalau di sini terus seperti ini terus, pasti masyarakat menjadi korban. Harus ada pola baru untuk situasi seperti ini," ujar Ikabus.

Dia mengatakan, pemerintah daerah sudah sering meminta pemerintah pusat untuk menarik pasukan organik dari Nduga, namun itu "tak digubris" pemerintah pusat.

Baca juga: Fakta Mundurnya Wakil Bupati Nduga, dari Sopir Tertembak hingga Konflik Tak Kunjung Usai

Namun, Kepala penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Gusti Nyoman Suriastawa menegaskan keberadaan pasukan TNI/Polisi di sana untuk mengejar mengejar apa yang dia sebut sebagai KKSB, atau kelompok kriminal separatis bersenjata, yang mengganggu stabilitas keamanan di Nduga, sejak penembakan pekerja proyek Trans Papua.

"KKSB sampai kapanpun apabila dia menganggu stabilitas keamanan, sampai kapanpun akan kita kejar," kata dia.

Baca juga: Kemendagri Belum Terima Surat Pengunduran Diri Wakil Bupati Nduga

Anak-anak terpaksa berhimpitan satu sama lain ketika belajar di sekolah darurat. dok BBC Indonesia Anak-anak terpaksa berhimpitan satu sama lain ketika belajar di sekolah darurat.
Dia kemudian menjelaskan kendala yang dihadapi pasukan dalam melakukan tugasnya adalah sulitnya membedakan anggota kelompok pro-kemerdekaan dengan masyarakat sipil.

"KKSB selalu menjadikan masyarakat sebagai tameng, tidak jelas membedakan [keduanya] di sana. Harus benar-benar teliti banget," jelas Nyoman.

Selain itu, kondisi geografis yang berbeda dengan tantangan yang lebih berat menyulitkan para anggota TNI.

"Kalau dibolehkan prajurit nggak ada yang mau ke sana. Tapi karena panggilan tugas bangsa dan negara dia harus siap melaksanakan tugas," imbuhnya.

Baca juga: Kapolda Papua Akui Sulit Ungkap Penembak Sopir Wakil Bupati Nduga

Seruan penarikan pasukan TNI/Polri telah lama disuarakan oleh pemda Nduga dan Papua, serta pegiat HAM yang menyoroti pelanggaran HAM selama konflik berlangsung.

Namun, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD berulang kali menegaskan bahwa itu tidak mungkin.

"Bagaimana mungkin sebuah negara melarang TNI masuk menjaga negaranya, nggak mungkin," kata Mahfud dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengamanan Perbatasan Negara di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (11/3/2020).

"Bahasa LSM, bahasa gerakan sipil itu selalu TNI/Polri yang bikin masalah. Harus ditarik di sana, pelanggaran HAM. Ya nggak mungkin."

"Bagaimana sebuah negara menarik TNI dan Polri dari situ, hancur. Ditarik sehari saja sudah hancur," tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com