KOMPAS.com - Foto anjing bernyanyi di Papua atau Papuan singing dog viral di media sosial beberapa pekan terakhir. Hewan itu disebut tak bisa menggonggong, tetapi bisa melolong sehingga seperti bernyanyi.
Secara fisik, anjing bernyanyi Papua mirip seperti serigala atau rubah, bulunya tebal.
Peneliti Balai Arkeologi Papua Hari Suroto mengatakan, Papuan singing dog dianggap sebagai anjing paling primitif yang dikenalkan kepada penduduk dataran tinggi Papua sejak beberapa ribu tahun silam.
"Anjing Nugini berasal dari jenis yang istimewa, Canis familiaris hallstromi," kata Hari lewat surat elektronik, Senin (27/7/2020).
Lolongan hewan itu kerap terdengar saat bulan purnama. Hari mengatakan, anjing itu sangat sensitif dengan cahaya bulan.
Baca juga: Foto Viral Anjing Bernyanyi di Papua, Tak Bisa Menggonggong dan Dianggap Sakral
Hari tak tahu pasti alasan hewan itu melolong saat melihat cahaya bulan.
"Kehadiran bulan di malam hari rupanya membuat suara rintihan anjing itu bersahut-sahutan atau seolah-olah estafet mengikuti arah pergerakan bulan dari timur ke barat," kata Hari.
Saat ini, populasi singing dog tersisa beberapa ekor dari jenis aslinya. Binatang primitif ini hanya bisa dijumpai di dataran tinggi Papua dengan ketinggian 3.352 mdpl hingga 4.267 mdpl.
Sebelum didokumentasikan oleh akun Twitter @anagdianto pada 23 Juli 2020, anjing Canis familiaris hallstromi pernah dijumpai di Puncak Jaya dengan ketinggian 3.460 hingga 4.400 mdpl pada 2016.
Minim kajian
Meski diyakini sebagai salah satu spesies endemik asli Papua, kajian dan literasi tentang anjing Papua masih minim.
Kepala Balai Taman Nasional Lorentz Anis Acha Sokoy mengatakan, belum ada kajian khusus mengenai binatang tersebut. Hal itu disebabkan keterbatasan anggaran Balai Taman Nasional Lorentz.
"Sampai sejauh ini belum diadakan kajian lebih mendetail untuk mengetahui jumlah populasi dan dari jenis ini pun belum pernah dilakukan kajian secara genetik untuk mengklasifikasikan nama spesiesnya itu apa," kata Anis saat dihubungi lewat sambungan telepon.
Berdasarkan strategi pengelolaan satwa dilindungi, anjing bernyanyi Papua belum masuk kategori spesies prioritas di Taman Nasional Lorentz.
"Kami masih terbatas pada tiga spesies, yaitu kangguru pohon, cenderawasih dan kura-kura moncong babi," kata dia.
Tersebar di dua wilayah adat
Berdasarkan hasil dokumentasi Balai Taman Nasional Lorentz dan masyarakat, populasi singing dog menyebar di dua wilayah adat, yakni Megapo dan Lapago.
Baca juga: Cerita Tenaga Medis di Pedalaman Flores, Menunggu di Bawah Pohon untuk Dapat Sinyal
Kedua wilayah adat tersebut berada di dataran tinggi dan sebagian besar masuk di kawasan Taman Nasional Lorentz.
"Kalau yang warna hitam dan dadanya putih itu teman-teman ambil gambarnya di wilayah Kaki Gunung Trikora di sekitar Danau Habema (Kabupaten Jayawijaya), kemudian ada warna coklat itu umumnya ditemukan di dekat Cartenz," kata Anis.
Anis mengatakan, anjing itu dianggap sakral bagi masyarakat yang berada di wilayah Mepago.
"Tepat sekali, dari suku Moni dan beberapa suku pegunungan menganggap ini hewan sakral, tapi dengan perkembangan zaman dan pergeseran budaya yang kadang menjadi ancaman tergadap spesies-spesies yang secara kearifan lokal sebenarnya disakralkan," tutur Anis.
Kesakralan satwa tersebut, menurut dia, juga terbukti dengan tidak mudahnya orang menemui dan mendokumentasikan anjing tersebut.
(Kontributor Jayapura, Dhias Suwandi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.