KARAWANG, KOMPAS.com - Pegunungan Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, masih menyimpan beragam satwa endemik.
Sayangnya keberadaan hewan-hewan di kawasan pegunungan dengan tinggi 1291 mdpl itu terancam pemburu liar.
Pada Rabu (15/7/2020) Komunitas Pendaki Gunung (KPG) Regional Depok yang didukung oleh KPG regional Karawang, KPG regional Bekasi, The Wildlife Photographers Community (WPC), dan tim dari Bara Rimba Karawang melakukan Sanggabuana Wildlife Ekspedition.
Baca juga: Ancam Satwa Endemik, Walhi Imbau Izin 9 Perusahaan HTI Ditinjau Ulang
Dalam ekspedisi yang dilakukan selama delapan hari itu, tim menemukan, mendata dan mendokumentasikan beberapa satwa langka.
Mereka terdiri dari primata endemik, burung, karnivora besar, beberapa mamalia, dan serangga.
"Tim ekspedisi berhasil menemukan owa Jawa, Surili, kera ekor panjang, dan lutung jawa yang merupakan endemik jawa. Juga macan tutul dan macan kumbang serta elang Jawa," ujar Ketua Tim Sanggabuana Wildlife Ekspedition Bernard T. Wahyu Wiryanta melalui rilis ke Kompas.com, Senin (27/07/2020).
Baca juga: Puluhan Burung Endemik Maluku Utara Dilepas di Hutan Halmahera
"Senjata yang ditenteng pemburu itu adalah model senapan yang dipakai tentara jaman perang sama Belanda dulu," ujar Bernard.
Senapan didor lalu dicolok atau dorlok adalah bedil yang dibuat secara tradisional. Populer digunakan saat masa penjajahan Belanda. Mekanismenya masih sederhana, dorlok artinya setelah ditembakkan mesti ditusuk untuk mengeluarkan selongsong kemudian diisi peluru lagi.
"Mekanismenya masih manual, memasukkan mesiu, kemudian pelurunya dari timah di cor, ini kalibernya bisa lebih besar dari AK-47 atau SS1," ungkapnya.
Baca juga: 3 Tenaga Kesehatan Positif Covid-19, 2 Puskesmas di Karawang Ditutup
Bernard menyebut pemburu bersenjata dorlok sudah makan korban di Sanggabuana. Seekor macan tutul atau Panthera Pardus Melas pernah ditemukan tewas. Perburuan gelap itu dipergoki oleh tentara.
"Salah satu tentara memberi kita laporan bahwa bulan Mei 2020 mereka bertemu pemburu yang habis nembak macan tutul, dan ini fotonya sebagai bukti," kata dia.
Namun, hingga saat ini, kasus pembunuhan seekor macan tutul di Sanggabuana itu belum ada kabar. "Usai menembak macan, pemburu itu diomelin tentara. Sayangnya polhut atau otoritas berwenang lain tak terlihat perannya," ujar Bernard.
Bernard tim dan warga setempat masih mengecek keberadaan bangkai macan tersebut. "Kalau ketemu infonya baru kita akan lapor ke Gakkum KLHK untuk disita," kata Bernard.
Tim juga menghitung hulu mata air yang ada di sepanjang jajaran pegunungan Sanggabuana. Dari citra satelit sebelum ekspedisi, tim mendata ada sekitar 157 titik hulu sungai atau mata air.
Hampir 60 persen berada di sisi selatan dan bermuara atau menjadi penyuplai debit air di Waduk Jatiluhur.
Sementara sisanya, terang Bernard merupakan sumber mata air Citarum. Namun selama ekspedisi, hampir 50 persen lebih hulu mata air ini mengalami kekeringan, hanya menyisakan bekas aliran sungai kering.
Bernard menyebut matinya hulu sungai atau mata air ini merupakan indikasi bahwa hutan di kawasan Pegunungan Sanggabuana sudah megalami perubahan dan harus segera dibenahi.
"Beberapa kali tim mendapati alih fungsi hutan menjadi perkebunan kopi, sengon dan hutan rakyat. Juga banyaknya bekas pohon besar yang ditebang oleh oknum masyarakat," ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.