Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Dea Kehilangan Satu Keluarga karena Covid-19: Hidup dalam Stigma hingga Heran Ada yang Merasa Kebal

Kompas.com - 25/07/2020, 09:26 WIB
Ghinan Salman,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Dea Winnie Pertiwi (27), warga Surabaya, Jawa Timur, tak pernah menyangka hanya dalam waktu singkat harus kehilangan tiga anggota keluarganya sekaligus.

Ayah, ibu, dan kakaknya yang masih mengandung janin di perutnya meninggal hampir bersamaan akibat terjangkit virus corona baru atau Covid-19.

Ayah Dea, Gatot Soehardono (68), meninggal dunia pada 30 Mei.

Kemudian kakaknya, Debby Kusumawardani (33), berpulang pada 31 Mei, dan disusul sang ibu, Cristina Sri Winarsih (60), yang tutup usia pada 2 Juni 2020.

Baca juga: Malam Ini, Razia Jam Malam di Surabaya Digelar Serentak di 31 Kecamatan

Kedua orangtua Dea meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) karena tak sempat melakukan tes swab.

Sedangkan kakaknya, sebelum meninggal, telah dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil tes swab pada 28 Mei lalu.

Kronologi meninggalnya satu keluarga Dea Winnie Pertiwi ini pernah diberitakan Kompas.com pada 5 Juni lalu.

Dea mengatakan, selain kehilangan tiga orang yang dicintai, rumah tangga Dea juga tak bisa dipertahankan.

Bagi Dea, tahun 2020 adalah pengalaman menyedihkan yang paripurna sekaligus sarat makna.

"Ini kayak mimpi buruk banget buatku. Allah kasih ujian enggak putus-putus, dari awal tahun ujianku sendiri, rumah tanggaku, kemudian orang yang aku sayang diambil satu-satu," kata Dea kepada Kompas.com, saat dihubungi melalui telepon, Jumat (24/7/2020).

Baca juga: Diikuti 500 Ibu Hamil dalam Sehari, Ini Tujuan Pemkot Surabaya Gelar Tes Swab Gratis

Momen pedih yang selalu dia ingat adalah saat hari-harinya dihabiskan untuk merawat ayah, ibu, dan kakaknya selama masa perawatan akibat Covid-19.

Setelah tiga anggota keluarganya meninggal, Dea melalui hari demi hari dengan berat dan tentu amat sedih. Dia juga kerap menangis ketika mengingat masa-masa kelam itu.

Namun, Dea akhirnya menyadari bahwa semua yang pergi tak akan bisa kembali. Dia percaya semuanya sudah diatur dan direncanakan Tuhan.

 

Dea pun dapat memetik pelajaran hidup dari rentetan musibah yang dia alami di tahun ini.

"Jadi aku hanya mengimani bahwa ini sudah takdir Allah. Aku ikhlas saja. Allah mungkin menganggap aku kuat dan bisa melalui ini, jadi enteng saja sih," kata Dea.

"Walaupun, enggak dimungkiri juga kalau aku diam-diam (melamun) masih nangis. Ya, aku cuma bisa mendoakan, bisa berdoa dan ikhlas. Kunciku cuma itu saja untuk bisa melalui ini semua," tutur Dea menambahkan.

Stigma keluarga korban Covid-19 melekat

Semenjak kakaknya dinyatakan positif Covid-19, Dea mengaku keluarganya banyak mendapat stigma buruk dari masyarakat.

Bahkan, kakaknya difitnah sering keluyuran dan tak melakukan isolasi mandiri di rumah. Kemudian, suami kakaknya juga dituduh melarikan diri dari rumah.

Baca juga: Kisah di Balik APD Fashionable yang Viral di Medsos...

Saat itu, Dea memahami bahwa masyarakat di lingkungan rumahnya resah dengan kabar kakaknya terjangkit Covid-19.

Namun, pandangan negatif dari masyarakat itu amat mengganggu Dea dan keluarga.

"Kan aneh, padahal kita di rumah saja, isolasi mandiri, enggak ke mana-mana. Tapi, banyak banget yang fitnah. Terus tetangga mandangnya kayak gimana gitu. Itu awal-awal, seminggu pertama," kata Dea.

Beruntung, stigma negatif terhadap keluarga Dea tak berlangsung lama.

Masyarakat di lingkungan rumah orangtua Dea di Gubeng Kertajaya, Surabaya, mulai menerima keluarga Dea dengan baik.

Menurut Dea, warga di kampungnya menjadi lebih peduli dan ikut memberi semangat, termasuk memberi bantuan berupa makanan.

Meski demikian, stigma itu kembali muncul setelah Dea sempat dinyatakan positif Covid-19.

Dea kemungkinan besar tertular dari tiga anggota keluarganya yang meninggal.

Baca juga: Cerita Dimas, ke Sekolah Sendirian karena Tak Mampu Beli Smartphone untuk Belajar Online

Sebab, saat masa perawatan, Dea ikut merawat langsung ayah, ibu, dan kakaknya yang terinfeksi Covid-19.

Suatu hari, Dea pernah mengurus surat keterangan ke RT/RW di lingkungan rumah Dea di kawasan Rungkut, Medokan Ayu, Surabaya.

Namun, ketua RT setempat menolak memberikan surat keterangan lantaran mendapat informasi bahwa Dea positif corona.

Padahal, kata Dea, permintaan surat keterangan itu diwakili oleh keluarganya, tetapi tetap ditolak.

"Stigma negatif di masyarakat itu masih melekat bagi kami para keluarga korban Covid-19, dan aku sendiri pernah ada di posisi itu (terjangkit Covid-19)," ujar Dea.

 

Virus corona tak bisa dianggap remeh

Dea merasakan betul bagaimana virus corona menginfeksi tubuhnya.

Saat terinfeksi Covid-19 itu, Dea mengalami demam tinggi dan sesak napas. Bahkan, indra penciuman dan pengecapannya sempat hilang atau tak berfungsi.

Apalagi, virus corona secara berturut-turut juga telah merenggut nyawa ayah, ibu, dan kakaknya.

Dea sendiri merasa heran karena masih ada masyarakat yang tidak peduli, tidak percaya, bersikap masa bodoh, dan cenderung menganggap enteng virus corona.

Padahal, kata Dea, sudah ada banyak bukti dan contoh kasus tentang orang-orang yang terinfeksi dan meninggal karena Covid-19, salah satunya adalah keluarga Dea sendiri.

Baca juga: Kisah Keluarga Sugiman, Tinggal di Bekas Kandang Sapi, Sering Kemasukan Ular dan Terharu Direnovasi

Namun, Dea mengakui masih banyak masyarakat yang menganggap Covid-19 ini hanyalah sebuah rekayasa dan sekadar ilusi untuk menakut-nakuti orang.

"Jadi orang-orang kayak gini, dijelasin bagaimana pun kalau mindset-nya enggak percaya atau bahkan masa bodoh, enggak bakal masuk," kata Dea.

"Karena mereka belum merasakan sendiri bagaimana rasanya kehilangan keluarga, orang-orang terdekat. Coba mereka merasakan kayak gitu, pasti bakal percaya bahwa Covid-19 itu ada," tutur Dea.

Menurut Dea, setiap orang berhak memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang Covid-19.

Dia juga tak mau menyalahkan sebagian masyarakat yang mengklaim bahwa virus corona adalah konspirasi.

Namun, Dea berharap, masyarakat yang menganggap remeh virus corona ini tak seharusnya bersikap abai, apalagi sampai membahayakan orang lain dengan tidak mematuhi protokol kesehatan.

"Bisa jadi mereka (yang menganggap remeh Covid-19) memang kebal, karena merasa masih muda. Tapi kan belum tentu orang-orang disekelilingnya," ujar Dea.

Dea menceritakan, virus corona yang menjangkiti ayah, ibu dan kakaknya diduga berawal dari suami kakaknya yang diketahui sempat menderita penyakit seperti gejala Covid-19.

Baca juga: Cerita Menegangkan, Menjadi Saksi Mata Operasi SAR di Tengah Laut

Setelah itu, kakaknya mulai mengalami gejala batuk berdahak, ibu Dea juga sesak napas.

Praktis, hanya ayah Dea saja yang tak mengalami gejala terinfeksi Covid-19.

Namun, sang ayah diketahui memiliki penyakit penyerta atau komorbid, yakni penyakit diabetes, jantung, dan darah tinggi.

"Mama dan papa ini kan usia rentan ya, imunnya enggak sebagus kita yang masih muda. Kakakku juga, dia ibu hamil yang juga rentan (terpapar Covid-19)," ujar Dea.

Bahkan, hanya dalam waktu empat hari berturut-turut, ayah, ibu, dan kakaknya meninggal dunia.

Dea mengatakan, jika pun masih ada masyarakat yang menganggap remeh virus corona, mereka setidaknya tetap mematuhi protokol kesehatan dan tidak membahayakan orang lain.

Dea juga berharap, pengalaman pahit tentang bagaimana virus corona merenggut satu per satu anggota keluarganya bisa membuat masyarakat percaya bahwa virus corona itu nyata.

Selain itu, mereka juga diharapkan menjadi lebih peduli terhadap kesehatan diri sendiri dan orang-orang di sekeliling mereka.

"Karena enggak ada salahnya juga kan pakai masker. Kalau memang tidak peduli dengan kesehatan sendiri, paling tidak kamu peduli sama kesehatan keluargamu," pesan Dea kepada mereka yang menganggap remeh virus corona.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com