Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Kebijakan Risma Wajibkan Rapid Test 14 Hari bagi Pekerja Luar Daerah, Ini Penjelasan Pemkot Surabaya

Kompas.com - 20/07/2020, 18:51 WIB
Ghinan Salman,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memastikan bahwa warga atau pekerja yang berada di wilayah aglomerasi tidak perlu menunjukkan bukti non Covid-19, baik berupa hasil rapid test non reaktif atau hasil tes swab negatif.

Sebab, warga yang masuk wilayah aglomerasi itu termasuk dalam pasal pengecualian di Perwali Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Surabaya.

Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya Irvan Widyanto menuturkan, pengecualian itu tertuang dalam Pasal 24 Perwali Nomor 33 Tahun 2020.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa kewajiban menunjukkan hasil rapid test atau swab atau surat keterangan bebas gejala, dikecualikan untuk orang yang ber-KTP Surabaya, yang melakukan perjalanan komuter, dan atau orang yang melakukan perjalanan di dalam wilayah atau kawasan aglomerasi.

Baca juga: Kebijakan Risma soal Rapid Test Setiap 14 Hari bagi Pekerja Luar Surabaya Memberatkan Buruh

"Jadi, kami sudah diskusi dengan pakar hukum dan kawan-kawan dari Persakmi (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia) Jawa Timur membahas pasal pengecualian ini. Hasilnya memang siapapun yang melakukan perjalanan komuter atau yang masuk dalam wilayah aglomerasi, itu dikecualikan atau tidak perlu menunjukkan hasil rapid test atau tes swab," kata Irvan, di kantor BPB Linmas Surabaya, Senin (20/7/2020).

Adapun wilayah aglomerasi yang dikecualikan itu adalah Gresik-Lamongan untuk wilayah utara. Sedangkan untuk yang arah selatan Sidoarjo-Mojokerto.

Aglomerasi ini mengacu pada data dari Dishub tentang kereta komuter yang mana ke utara sampai Lamongan dan ke Selatan sampai Mojokerto.

"Artinya, yang masuk dalam wilayah aglomerasi ini tidak perlu menunjukkan hasil rapid test," ujar dia.

Ia mencontohkan, apabila ada warga Sidoarjo yang setiap hari pulang-pergi (PP) ke Surabaya naik sepeda motor, tentu ini sudah masuk yang dikecualikan lantaran masih masuk dalam wilayah aglomerasi.

Begitu pula warga Gresik atau Lamongan yang PP ke Surabaya, maka itu juga tidak perlu menunjukkan bukti bebas Covid-19.

"Nah, bagi warga atau pekerja yang berada di luar aglomerasi, itu tetap harus menunjukkan bukti non-Covid sebagaimana yang diatur dalam Perwali perubahan," tutur Irvan.

Apabila ada warga atau pekerja yang ber-KTP di luar wilayah aglomerasi dan bekerja serta indekos di Surabaya, maka warga tersebut harus minta surat keterangan domisili untuk menggugurkan kewajiban rapid test.

Dalam keterangan itu, kata Irvan, juga harus dijelaskan bahwa dia benar-benar tidak melakukan perjalanan pulang ke luar wilayah aglomerasi.

Ia mencontohkan, salah satu warga atau pekerja yang KTP-nya Trenggalek, tapi bekerja di Surabaya dan indekos di Surabaya.

Warga tersebut hanya cukup menunjukkan surat keterangan domisili yang menjelaskan tidak pulang ke Trenggalek dan tidak perlu rapid test berkala.

"Berbeda kalau dia setiap minggu pulang. Ketika pulang kan kami tidak bisa kontrol dia ketemu siapa dan ke mana saja, makanya dalam hal ini kewajiban rapid test tetap berlaku," ujar dia.

Baca juga: Risma: Selamat Berjuang Mas Gibran

Irvan mengatakan, kebijakan pemberlakuan rapid test atau tes swab ini dilakukan untuk membatasi dan mengendalikan pergerakan orang.

Ketika sudah terkendalikan, ia menilai akan lebih mudah memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Kota Pahlawan.

"Ayo bersama-sama memutus mata rantai penyebaran Covid-19 ini dengan biasakan yang tidak biasa," tutur dia.

Sebelumnya diberitakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai syarat rapid test bagi pekerja luar daerah yang bekerja di Surabaya memberatkan buruh dan masyarakat.

Kebijakan ini diatur dalam Pasal 12 Ayat (2) huruf f dan Pasal 24 Ayat (2) huruf e Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai perubahan atas Perwali Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Surabaya.

Direktur LBH Surabaya Wachid Habibullah mengatakan, kebijakan tersebut hanya menyuburkan komersialisasi, lantaran hasil rapid test dinilai kurang akurat untuk menentukan seseorang bebas dari Covid-19.

Meski bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di Surabaya, aturan ini sangat memberatkan pekerja, terutama buruh dengan penghasilan rendah.

"Meskipun tujuannya untuk melakukan screening, belum tentu dikatakan aman dari Covid-19. Kebijakan tersebut dirasa berat bagi buruh dan masyarakat," kata Wachid, saat dihubungi, Senin (20/7/2020).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com