Maka, stigma miring “positif corona” pun langsung menghujamnya tanpa ampun, seolah dia sedang menghamburkan aib ke muka bumi. Padahal, itu hanya hasil rapid test yang tak bisa digunakan untuk menjustifikasi status seseorang karena keterbatasan akurasi alat ini.
Tidak hanya di dunia nyata, dalam sekejap tangan-tangan netizen menggunjingkan Edelweis di jagad maya. Berbesar hati Edelweis menerima semuanya.
Perjuangan seorang perempuan antara mati dan hidup yang semesti didukung dengan empati, justru menjadi semakin berat oleh karena beban penghakiman dari publik. Entah si corona yang jahat, atau manusia yang terlalu bejat secara sosial dan antikemanusiaan.
Menurut Kompas.com, rapid test merupakan teknik pengetesan keberadaan antibodi terhadap serangan kuman di dalam tubuh.
Hasil rapid test tak boleh dan tak bisa digunakan secara mandiri untuk mengonfirmasi keberadaan atau ketiadaan infeksi virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 di dalam tubuh.
Untuk mengonfirmasi keberadaan virus corona secara akurat dalam tubuh seseorang harus dilakukan swab test dengan meteode PCR (polymerase chain reaction). Baca selanjutnya di https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/03/080300423/setelah-rapid-test-tes-pcr-diperlukan-untuk-pastikan-virus-corona.
Hasil tes dari rapid test adalah reaktif (ada reaksi terhadap keberadaan antibodi) atau non-reaktif (tidak ada reaksi terhadap keberadaan antibodi).
Masih menurut Kompas.com, jika Anda sempat membaca hasil rapid test adalah positif atau negatif, harus dimaknai sebagai positif atau negatif terhadap keberadaan antibodi dalam tubuh, bukan positif atau negatif terhadap keberadaan virus corona penyebab Covid-19.
Apa yang kurang?
Ini pertanyaan menarik dan menyentak dari perjuangan seorang Edelweis mendapatkan layanan rumah sakit.
Apalagi Edelweis bukan yang pertama. Sebelumnya, di bulan Mei, terpublikasi setidaknya empat kasus penolakan pasien, satu di antaranya yang mengakibatkan meninggalnya bocah malang bernama Rafadan.
Menjawab pertanyaan di atas, menurut saya, kita punya dua kekurangan. Pertama, belum terbangun kanal koordinasi lintas rumah sakit.
Andai Dinas Kesehatan Provinsi Maluku bisa membuat sistim data terpusat lintas rumah sakit, peristiwa pingpong – mempingpong orang sakit dan perempuan melahirkan tidak perlu terjadi.
Kedua, sense of emergency atau sense of crisis belum terinternalisasi dalam manajemen rumah sakit. Kepekaan pada situasi kritis apalagi perempuan dan anak sangat memprihatinkan dan membahayakan jiwa. Jangan sekadar menjawab: kami tidak bisa terima, silahkan ke sana dan ke situ.
Sebagai institusi kemanusiaan, rumah sakit tidak boleh sekadar menjalankan kerjanya sebagai business as usual. Toh, di masa pandemi ini, kalau ada alternatif lain, saya yakin orang tidak ingin minta layanan ke rumah sakit.
Tolonglah berbenah. Jangan terus terjebak di bayang-bayang fobia corona hingga hilang sisi humanismu. Mohon, jangan ada lagi kasus penolakan berikutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.