KAMIS terakhir di bulan Juni 2020 yang lalu adalah Kamis yang akan selalu kukenang. Sejak subuh, hujan tidak henti mengguyur Kota Ambon, dibarengi angin kencang dari arah timur.
Maklum, ini musimnya. Matahari seperti hilang kuasanya, kalah pada mendung. Baru menjelang sore hujan mereda, namun tidak demikian dengan angin. Jadi sore itu tetap dingin sekali.
Sejak malam sebelumnya saya sudah punya janji dengan seseorang untuk sebuah perjumpaan istimewa di masa pandemi ini, di sore hari. Pada saat membuat perjanjian itu, saya sanggupkan bahwa bagaimana pun cuaca besok, saya akan datang.
Rupanya semesta demikian mengasihi kami. Tanpa mendung apalagi hujan, saya bisa memenuhi janji saya tepat pada waktu yang telah disepakati.
Baca juga: Belajar dari Kasus Balita Rafadan, Orang Miskin Dilarang Sakit?
Jadilah, saya menghabiskan sisa sore menjelang maghrib di hari itu bersama seorang perempuan, yang demi menjadi kenyamanannya, saya memberinya nama di sini: Edelweis.
Mengapa Edelweis? Kemampuan Edelweis hidup di daerah tandus dan gersang, membuat orang mengaguminya sebagai simbol perjuangan.
Mahkluk Tuhan yang memberikan keindahan di tengah kesukaran. Saya pun mengaguminya. Seperti itu pulalah sosok perempuan teman baru saya itu.
Edelweis terlahir dari keluarga sederhana, menikah pun dengan lelaki sederhana yang sehari-hari bekerja di pasar ikan. Ketika kami berjumpa, Edelweis baru saja melahirkan anak keduanya, setelah melewati perjuangan yang teramat berat.
Baca juga: Kemenkes Keluarkan Panduan Persalinan di Masa Pandemi Covid-19
Perjuangan yang membawa kami pada titik perjumpaan itu, bukanlah tentang bagaimana Edelweis berjuang menahan sakit di koridor rumah sakit mondar-mandir menunggu pintu rahim cukup membuka, lalu mengejangkan sekujur tubuhnya di meja persalinan untuk mengeluarkan bayi kehidupan baru dari Rahim! Bukan!
Tetapi tentang kejamnya rumah sakit menolaknya! Bukan hanya oleh satu rumah sakit, tetapi lebih. Bukan hanya dalam satu hari dan satu kali perjalanan. Tetapi selama tiga hari.
Riwayat berurusan dengan rumah sakit
Hari pertama, yakni tanggal 15 Juni 2020, berbekal pengantar dari dokter spesialis yang menanganinya selama masa kehamilan, Eldeweis mendatangi sebuah rumah sakit, tempat di mana anak pertamanya dilahirkan. Kita sebut sebagai rumah sakit pertama Edelweis.
Sebagaimana prosedur tetap di setiap RS, Edelweis harus menjalani rapid test. Beberapa saat menunggu, datang petugas menyampaikan bahwa, hasilnya reaktif. Hanya dengan keterangan lisan tanpa menunjukan lembaran kertas atau apapun sebagai bukti pemeriksaan.
Petugas itu memintanya untuk ke RS lain di kota itu yang adalah RS rujukan Covid-19. Entah apa alasannya, petugas di RS pertama tadi tidak memberikan keterangan tertulis. Di sinilah awal seorang perempuan yang membawa nyawa lain di rahimnya di ping-pong oleh buruknya sistim layanan rumah sakit.
Mengikuti saja apa kata petugas di RS pertama tadi, Edelweis mendatangi rumah sakit kedua. Setibanya di sana, Edelweis menjelaskan riwayat perjuangannya dari RS pertama, dan seperti yagn dikhawatirkan, petugas meminta surat keterangan hasil rapid test dari RS pertama.
Suami Edelweis sempat kembali ke RS pertama untuk memintanya, namun tetap tidak diberikan. Akhirnya, sekali lagi Edelweis harus mengulurkan tangannya kepada petugas untuk diambil sampel darah.
Kali ini hasilnya berbeda dengan yang dilakukan di RS pertama, yaitu menunjukan non-reaktif. Karena hasil rapid test yang demikian, RS kedua menyarankan untuk tidak menjalani rawat inap di situ, mengingat di RS ini adalah RS perawatan bagi pasien Covid-19.
Tanpa jeda panjang, malamnya Edelweis menemui dokter spesialisnya, yang kemudian menyarankannya untuk pergi ke RS ketiga. Edelweis pun mengikuti arahan dokter, keesokan harinya, pagi-pagi benar Edelweis mendatangi RS ketiga.
Di situ, Edelweis mesti kembali menjalani rapid test. Sempat menolak dan meminta untuk menggunakan saja hasil tes dari RS kedua, namun usaha itu tidak berhasil.