Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
dr. Puspa Ayu Lestari
Dokter dan Kepala Puskesmas

Kepala Puskesmas Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah

Ruwetnya Birokrasi Keuangan Negara untuk Layanan Kesehatan di Masa Pandemi

Kompas.com - 16/07/2020, 06:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Iyalah, jelas. Dalam sistem e-katalog pada umumnya, bila pemesanan barang dilakukan bulan ini, barang baru akan tersedia 3-4 bulan ke depan.

Apakah itu mungkin dijalankan di masa krisis? Bisakah Anda membayangkan seorang pasien dengan kondisi membutuhkan penanganan segera, tapi alat bantu yang dia perlukan baru akan datang 4 bulan lagi?

Maka, dalam situasi semacam itu, pimpinan mau tak mau harus berani mengambil sikap. Caranya adalah dengan melakukan praktik belanja di luar sistem, yang celakanya harga-harga di masa pandemi juga naik tidak terkendali.

Dengan praktik seperti itu, kekhawatiran atas tuduhan mark-up pengadaan barang sulit sekali dihindari. Tapi apa boleh buat, kan?

Di sinilah terjadi tarik ulur antara keinginan untuk mengikuti peraturan dengan kewajiban kemanusiaan untuk segera membantu pasien yang benar-benar sangat memerlukan bantuan.

Dengan gambaran seperti ini, kritik terhadap lambatnya akses sistem e-katalog pada transaksi pengadaan alat-alat kesehatan jadi cukup terjelaskan.

Itu belum semua. Pemberian insentif untuk tenaga kesehatan lebih berbelit-belit lagi aturannya.

Jadi, dana untuk alokasi ini sebagian dikucurkan melalu pemerintah daerah. Ada memang dana insentif yang langsung diberikan oleh Kementerian Kesehatan untuk jaringan linier di bawahnya.

Pelayanan kesehatan di Wisma Atlet, contohnya. Kita bisa melihat para relawan di sana lebih lancar untuk proses ini.

Sayangnya, hal semacam itu tidak terjadi untuk fasilitas kesehatan di daerah. Aturan pemerintah daerah dan dinas kesehatan setempat, dengan segala keruwetannya, sudah menanti.

Peraturan rata-rata hanya mengacu pada jumlah PDP (pasien dalam pengawasan), ODP (orang dalam pemantauan), OTG (orang tanpa gejala), dan jumlah positif Covid-19 di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Itulah yang dijadikan dasar untuk menentukan besaran dana insentif.

Aneh, bukan? Bagi saya itu aneh, terutama untuk fasilitas kesehatan setingkat Puskesmas. Sebab, kami mengutamakan tindakan preventif. Dan sewajarnya kinerja tim penanggulangan pandemi pun bukan hanya memburu jumlah kasus melalui banyaknya angka kesakitan yang terjadi.

Adapun yang paling repot adalah surveilans, petugas yang melacak semua kelompok warga berisiko, entah karena kontak dengan Covid-19 positif atau memang punya riwayat bepergian dari daerah endemis.

Kegigihan mereka di lapangan untuk mengedukasi masyarakat dan mengevaluasi penerapan protokol kesehatan secara ketat tidak masuk di poin penerimaan insentif.

Pendek kata, insentif memang lebih diprioritaskan bila angka kasus kesakitan terkonfirmasi banyak di suatu wilayah, sembari mengabaikan pihak-pihak yang berjuang keras untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Pun sampai sekarang perjalanan insentif tersebut masih dalam proses verfikasi melulu, belum menunjukkan titik terang.

Oh ya, satu lagi. Sampai saat ini, belanja penanganan pandemi Covid-19 di fasilitas kesehatan sebagian besar masih bersumber dari dana-dana yang sudah ada, yaitu dari dana pendapatan murni UPTD dan dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan).

Adapun dana khusus Covid-19 yang digembar-gemborkan mencapai triliunan itu sama sekali belum menyentuh pelayanan kesehatan terutama di pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Tapi itu soal lain, sebenarnya. Yang lebih mendesak dilakukan terkait problem penyerapan anggaran adalah penyederhanaan birokrasi. Itulah satu-satunya jalan. (dr. Puspa Ayu Lestari, Kepala Puskesmas Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com