Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Hal yang Perlu Dievaluasi dari Kasus Puluhan Pekerja Media di Jatim Terjangkit Covid-19

Kompas.com - 15/07/2020, 10:52 WIB
Ghinan Salman,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Puluhan jurnalis dan pekerja media di Jawa Timur terkonfirmasi positif virus corona baru atau Covid-19.

Tercatat 66 pekerja dari tiga kantor media di Surabaya dinyatakan positif Covid-19.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya Miftah Faridl menyampaikan keprihatinan menyusul ditemukannya puluhan jurnalis dan pekerja media di Jawa Timur, yang terinfeksi Covid-19.

"Pertama, kami prihatin dengan banyaknya pekerja media dan jurnalis yang terpapar Covid-19," kata Faridl, saat dihubungi, Rabu (15/7/2020).

Baca juga: Kepala Bappeda Jatim Rudy Ermawan Meninggal karena Corona, Khofifah: Selamat Jalan Saudaraku

Dengan munculnya klaster jurnalis dan pekerja media, Faridl menyebut ada tiga pihak yang perlu dievaluasi, yakni institusi pemerintahan, perusahaan media, dan jurnalis itu sendiri.

Pemerintah kerap adakan acara seremonial

Evaluasi tersebut berkaitan dengan penerapan protokol keselamatan peliputan, yang dinilai telah diabaikan tiga pihak tersebut.

Faridl mengungkapkan, pada Maret 2020 lalu, AJI Surabaya telah mengirimkan surat kepada Pemerintahan Provinsi Jatim dan Pemerintah Kota Surabaya, yang berisi perihal pentingnya protokol keselamatan peliputan bagi jurnalis.

"Maret lalu, ketika kasus (Covid-19) ini masih belum setinggi sekarang, AJI sudah me-warning semua pihak. AJI merespons berbagai aktivitas dari para pejabat di Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim, terkait pengabaian mereka terhadap protokol keselamatan peliputan jurnalis," ujar dia.

Dalam surat yang dilayangkan kepada Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya itu, Faridl mengaku masukan-masukan AJI Surabaya sempat dijalankan oleh beberapa instansi pemerintah.

Masukan yang sempat dijalankan salah satunya adalah menggelar konferensi pers secara virtual agar tidak menimbulkan kerumunan.

Sayangnya, hal itu hanya berjalan sementara waktu.

Berdasar fakta yang ia temukan di lapangan, beberapa instansi pemerintah justru rajin menggelar acara seremonial dan mengundang banyak pejabat dan wartawan untuk datang, sehingga terjadi kerumunan.

"Kalau AJI lihat ada banyak sekali hal-hal yang masih muncul pengabaian, misalnya banyaknya acara seremonial yang diselenggarakan para pejabat ini," kata dia.

Perilaku para pejabat yang seringkali menggelar acara seremonial tersebut, dinilai bukan bagian dari informasi yang penting bagi publik dan tak perlu diliput oleh jurnalis.

"Ada banyak sekali pemberitaan soal seremonial, apa untungnya bagi publik, apa publik teredukasi dengan gaya pejabat yang narsis, yang ingin setiap hari masuk layar TV, di koran, di media? Ini menunjukkan mereka seolah-olah sudah bekerja dengan baik," ujar dia.

Kegiatan seremonial semacam itu, kata Faridl, bisa tetap diberitakan oleh media, tanpa jurnalisnya perlu melakukan peliputan secara langsung, hingga membahayakan keselamatannya sendiri.

Baca juga: Jam Malam pada Fase New Normal di Surabaya Resmi Diterapkan

Acara-acara seremonial yang mendatangkan banyak massa, termasuk jurnalis di dalamnya, menurut Faridl sangat berpotensi membahayakan dan bisa memunculkan risiko penularan Covid-19.

Penularan Covid-19 bisa terjadi kepada pejabat itu sendiri dan juga para jurnalis yang meliput kegiatan seremonial tersebut.

"Apa buktinya? Buktinya ada banyak pejabat yang terkonfirmasi positif Covid-19, bahkan ada yang meninggal, ada banyak jurnalis yang terkonfirmasi positif dan kemudian juga ada yang meninggal," kata dia.

Protokol keselamatan liputan

Faridl mengutarakan hal lain yang perlu dievaluasi adalah otoritas perusahaan media.

Berdasarkan laporan yang ia terima, Faridl menyebut ada banyak jurnalis yang ternyata masih terus ditugaskan ke lapangan, meski obyek yang diliput mengabaikan protokol keselamatan dalam peliputan.

"Mereka tidak ada pilihan. Ketika harus melakukan peliputan, entah itu peliputan yang melanggar protokol keselamatan, atau liputan tak penting yang sifatnya seremonial, dia tidak memiliki kuasa yang cukup terhadap dirinya dan keselamatannya, jadi tidak didukung oleh perusahaannya," ujar dia.

AJI mendorong perusahaan-perusahaan media untuk membuat dan menerapkan protokol keselamatan dalam peliputan, baik untuk jurnalis di lapangan, maupun pekerja media yang ada di dalam kantor.

"Kalaupun mereka tidak memiliki kemampuan untuk membuat protokol keselamatan dalam peliputan, mereka bisa mengadopsi apa yang sudah disusun AJI dan Komite Keselamatan Jurnalis," kata dia.

Menurut Faridl, perusahaan media sebenarnya punya bargaining untuk mendesak institusi baik swasta maupun pemerintah agar mengikuti protokol keselamatan dalam peliputan.

"Perusahaan media punya power untuk mengoreksi sekian banyak kebijakan, yang berkaitan dengan peliputan, yang tidak berbasis pada kepentingan keselamatan bersama," kata Faridl.

Jurnalis bersikap abai

Berdasar temuan AJI, selama masa pandemi Covid-19 ini, masih banyak jurnalis dan pekerja media yang mengabaikan porotokol keselamatan liputan.

Karena itu, pihak yang perlu disoroti dalam munculnya klaster jurnalis dan pekerja media, tak lain adalah jurnalis itu sendiri.

Baca juga: Saat RRI Surabaya Tak Mengudara karena Corona

Menurut Faridl, ada beberapa faktor yang menyebabkan jurnalis bersikap abai, pertama karena ketidaktahuan, kedua, jurnalis itu memang tidak mau tahu, dan yang ketiga jurnalis tidak memiliki ruang untuk melakukan penolakan terhadap situasi yang membahayakan.

"Misalnya tekanan narasumber, tekanan dari kantor media tempat mereka bekerja," kata Faridl.

Faridl berharap, jurnalis sadar bahwa virus Covid-19 ini, sudah sangat dekat dengan profesi pewarta, bahkan telah mendekati orang-orang yang ada di sekitar mereka.

Bisa saja para pejabat atau narasumber yang diwawancara jurnalis ternyata terpapar corona.

"Bagi teman-teman jurnalis, ketika anda punya privilege yang diberikan oleh pejabat, karena anda kebetulan meliput di institusi pemerintahan, privilege anda tidak akan mampu membendung virus ini, ketika anda abai terhadap protokol keselamatan peliputan," kata Faridl.

Selain protokol keselamatan peliputan yang kerap diabaikan para jurnalis, AJI juga menyoroti perilaku wartawan yang justru lebih banyak memberitakan aktivitas dan drama konflik para pejabat, daripada informasi substantif tentang bahaya virus corona kepada publik.

Drama dan konflik para pejabat ini yang kemudian dinilai menyebabkan masyarakat di Jatim, khususnya Surabaya, tak peduli akan mitigasi dan protokol kesehatan.

Padahal, Provinsi Jatim merupakan daerah dengan kasus tertinggi virus corona secara nasional.

"80 persen pemberitaan seputar Covid-19 itu lebih banyak mencerminkan soal seremoni, menceritakan soal tindak tanduknya pejabat lebih banyak, daripada hal subtantif," kata dia.

Baca juga: Virus Corona Serang 65 Pekerja Media dari Kantor TVRI, RRI, dan Metro TV Surabaya

Sebelumnya diberitakan, terdapat 66 pekerja media yang dinyatakan positif Covid-19 di Surabaya.

Mereka tersebar di tiga media, yakni RRI Surabaya, TVRI Jatim, dan Metro TV Biro Surabaya.

Rinciannya, 60 pekerja media berasal dari RRI Surabaya. Namun, sebanyak enam pegawai dinyatakan sembuh pada 11 Juli.

Sementara itu, terdapat tiga pegawai Metro TV Biro Surabaya yang positif Covid-19. Mereka juga telah dinyatakan sembuh.

Sisanya, tiga staf yang terjangkit Covid-19 berasal dari TVRI Jatim, dua di antaranya meninggal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com