Tiang penyangganya juga berupa kayu jati, dicampur sebagian kayu johar yang sudah mulai rusak termakan rayap.
Ruangan kelas hanya disekat dengan bilah bambu sebagai pembatas.
Terdapat tiga ruang yang digunakan untuk proses belajar mengajar. Dua ruangan kelas dibagi untuk 52 murid, sedangkan satu ruangan bagi 12 guru termasuk Paulus.
Sebanyak 52 murid terdiri dari kelas VII 23 orang, kelas VIII 16 orang dan kelas IX sebanyak 13 orang.
Di beberapa sudut ruangan tampak dinding yang sudah keropos dan bolong hingga nyaris ambruk.
Begitu juga dengan sejumlah kursi kayu yang sandarannya mulai terlepas dari dudukannya dan meja yang terkelupas, sebagiannya berlubang.
Masih membekas dalam ingatan Paulus, awal dibangunnya sekolah tersebut pertengahan tahun 2017 lalu.
Saat itu, para orangtua murid dan warga desa lainnya secara swadaya membangun sekolah menggunakan material bangunan dan peralatan seadanya.
Gotong royong mereka bekerja tanpa rasa lelah, demi masa depan anak mereka. Sekolah itu akhirnya selesai dibangun dalam tempo satu bulan.
"Kami dan orangtua di sini ingin anak-anak bisa menikmati pendidikan yang sama dengan anak lainnya di Indonesia," ujar Paulus kepada Kompas.com.
Yang ada di benak Paulus dan warga, hanyalah satu yakni ingin mencerdaskan anak-anak para petani di desa yang sebagian besar dari latar belakang ekonomi lemah.
Mereka sepakat bangun sekolah darurat, mengingat jarak antara desa ke SMP terdekat yang berada di ibu kota Kecamatan Amarasi Timur, sekitar 7 kilometer.