Kata Maria, penolakan kelompok Talang Mamak yang meliputi beberapa spot seperti di Dusun Air Bomban, Sadan, Swit, Nunusan, Bengayoan dan Semaratihan karena mereka punya obat-obatan tradisional dan dukun hantu.
Misalnya sakit tuberculosis (TB) atau batuk darah, mereka lebih suka berobat ke dukun, begitu juga penyakit lainnya.
Maria pun melebur bersama mereka. Dia masuk dapur, membantu ibu-ibu memasak. Kemudian memakan apa yang mereka makan. Hidup dengan cara mereka, tanpa batasan. Cara lain, Mariya mengumpulkan anak-anak, membentuk pasukan dokter cilik.
Mereka bertugas 'mendidik' orang tuanya cara menyikat gigi, cuci tangan sebelum makan, mandi dengan sabun dan tidak merokok dekat dengan anak-anak terutama balita.
Untuk wilayah Orang Rimba sudah diakses oleh segudang fasilitas kesehatan, berkat perjuangan Mariya dengan berbagai pihak. Bahkan Warsi telah memfasilitasi dengan menggandeng lembaga Eijkman, yang menelurkan program penelitian tentang malaria dan hepatitis.
Berbeda dengan Talak Mamak, yang baru memasuki tahap rintisan. Ini yang membuat Maria lebih terkonsentrasi di Talang Mamak dibanding Orang Rimba. Perbandingannya signifikan.
"Dalam sebulan. Saya berada di Talang Mamak tiga minggu dan Orang Rimba satu minggu," kata perempuan berdarah Jawa ini.
Awal Maria mengabdi kepada komunitas adat adalah tepat sehari sebelum ulang tahunnya, bulan September 2015. Pertama masuk rimba sedang musim asap karena kebakaran hutan. Untuk memberikan kesan pertama yang baik, dia pun berniat merayakan ulang tahun bersama komunitas Talang Mamak.
Sepotong kue ulang tahun dibawa Maria saat pergi ke rimba. Perjalanan menuju Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) tepatnya di Lemang, desa terakhir yang dapat diakses dengan sepeda motor.
Selanjutnya mengarungi Sungai Gangsal dengan perahu motor. Apabila debit air tidak surut, maka perjalanan tiga jam. Namun karena musim kemarau, perahu motor tak dapat melaju. Maria pun berjalan kaki selama delapan jam, untuk menemui 12 KK komunitas Talang Mamak di dusun Nunusan, kata Maria.