Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Maria "Sang Dokter Rimba", Keluar Masuk Hutan Pedalaman Jambi untuk Melawan Corona (1)

Kompas.com - 09/07/2020, 10:00 WIB
Suwandi,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com – Petugas medis di luar hutan bekerja terkurung alat pelindung diri (APD) yang bikin gerah dan dehidrasi. Sebaliknya, petugas medis yang berada dalam hutan bekerja dikurung aturan adat yang ketat.

Selama pandemi Covid-19, perempuan berdarah Jawa bernama Maria Kristiana Norad keluar masuk hutan untuk melakukan pengobatan.

Dia pergi ke Bukit Beringing, lalu Pemenang, kemudian Tanjung Sarolangun, masuk ke pedalaman Bukit Tigapuluh dan terakhir di Sungai Terab, kawasan Bukit Duabelas.

“Aturan adat mereka (Orang Rimba) ketat. Karena takut corona, mereka masuk jauh ke dalam hutan dan menerapkan karantina wilayah (besesandingon) dan social distancing (Sesalungon) serta isolasi mandiri (cemenggo),” kata Maria Norad selaku Fasilitator Kesehatan KKI Warsi kepada Kompas.com, Rabu (8/7/2020).

Baca juga: Kisah Maria Sang Dokter Rimba, Sempat Dianggap Melawan Kepercayaan Suku Pedalaman Jambi (2)

Sampai sekarang sudah empat bulan orang rimba melakukan karantina wilayah atau besesandingon.

Dalam interaksi sesama Orang Rimba pun mereka menjaga jarak (sesalungon). Bahkan ketika ada yang sakit, sambung Maria misalnya demam disertai batuk, mereka langsung melakukan isolasi mandiri.

Keluarga Orang Rimba yang sakit itu dijauhkan dari komunitas. Dia diungsikan ke sebuah sudong atau tempat tinggal beratap terpal dengan lantai kayu.

“Mereka pun melarang saya menemuinya. Jadi saya harus jelaskan dulu ke mereka, bahwa tidak semua batuk dan demam itu berkaitan dengan korona,” sebut Maria lagi.

Baca juga: Kisah Dosen ITB Bikin Ventilator Indonesia, Rela Dicibir, Tidur di Masjid, hingga Dapat Dana Rp 10 M

Terhambat aturan adat yang kuat

Aturan adat yang kuat, sambung Maria memang menghambat pelayanan kesehatan kepada mereka. Setiap ingin masuk dan melakukan pengobatan rutin kepada mereka, kita harus meyakinkan mereka, kalau kita aman dan tidak pernah keluar Jambi selama pandemi.

Selain aturan adat, jarak juga menjadi kendala. Keberadaan Orang Rimba saat pandemi jauh di dalam hutan. Orang Rimba melakukan itu, untuk menghindari interaksi dengan orang luar yang tak dikenal.

Untuk berinteraksi dengan mereka, kata Maria tidak ada kendala. Pasalnya sebagian besar Orang Rimba telah mengganggap kami keluarga. Sebab Maria telah menjalin hubungan dengan Orang Rimba sejak September 2015 lalu.

Baca juga: Kisah Maria Sang Dokter Rimba, Ambil Alih Tugas Dukun Hantu Pedalaman Jambi (3)

Kendala jarak

Memang kendala lain adalah jarak. Untuk bertemu dengan Orang Rimba, Maria mengaku harus berjalan hingga empat jam. Apabila diakumulasi mulai berangkat dari kantor, sampai ketemu mereka hampir 20 jam. Itu naik mobil baru kemudian sepeda motor.

Layanan kesehatan yang diberikan adalah pemeriksaan rutin terhadap anak-anak dan perempuan. Diantaranya imunisasi, batuk dan demam. Bahkan sosialisasi new normal.

“Walaupun sudah new normal masih banyak Orang Rimba yang masih dalam hutan. Mereka masih ada rasa ketakutan yang tinggi terkait virus corona,” kata Maria menegaskan.

Untuk itu, Maria terus melurukan pemahaman agar Orang Rimba tidak takut berlebihan dengan korona. Sampai tidak mau keluar hutan. Untuk sekarang sudah boleh keluar hutan, tetapi dalam berkomunikasi tetap menjaga jarak atau sesalungon.

Baca juga: [POPULER NUSANTARA] Pendaki Hilang Misterius di Gunung Guntur | Mengenal Tradisi Pacaran Orang Rimba

 

Degradasi hutan munculkan penyakit

Keberadaan Maria sebagai dokter rimba bukan hanya ketika pandemi Covid-19. Namun dimulai sejak September 2015 lalu bertepatan dengan kebakaran hutan. Pasalnya Orang Rimba maupun Talang Mamak sama-sama hidup dan berkehidupan bergantung hutan. Sementara hutan terus digunduli. Kekurangan pangan dan penyakit pun menjadi ancaman.

Perubahan lingkungan secara masif sejak 1970-an hingga medio 1980-an terjadi pada era transmigrasi. Ditambah alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Luas tutupan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dari ratusan hektar, kini tinggal 60.500 hektar.

Data Eye On The Forest, menyebutkan, pada 2000, tutupan Riau tersisa 41 persen. Kondisi ini, berimbas pada wilayah Talang Mamak. Transmigrasi pemerintah pun jadi menambah masalah. Sekitar 1980-an para pendatang turut mengikis wilayah Talang Mamak. Setelah menjadi taman nasional, luasnya tinggal 143.143 hektar.

Laju alih fungsi lain ini bukan tanpa resiko. Baik Orang Rimba maupun Talak Mamak hidup dari alam. Persediaan makanan mereka satu dekade terakhir menurun tajam.

Mereka kehilangan hewan buruan dan pangan lokal, seperti gadung dan benor. Kurangnya asupan pangan yang cukup, membuat daya tahan tubuh melemah. Sekarang komunitas adat ini terancam serangan beragam jenis penyakit.

“Tutupan hutan yang menipis, membuat persediaan pangan menurun. Dampaknya beragam jenis penyakit menyerang Orang Rimba dan Talang Mamak,” kata Manager Komunikasi KKI Warsi, Sukma Reni belum lama ini.

(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com