Kesepakatan itu juga mencakup peningkatan upaya perlindungan perempuan dan anak.
"Kita sudah mendengar dari tokoh adat, tokoh agama, bahwa kawin tangkap yang viral itu, bahwa di sini, bukan budaya Sumba. Itu menjadi kata kunci," kata Bintang saat di kota Waingapu, kepada BBC News Indonesia, Kamis (2/7/2020).
"Terkait dengan kesepakatan bersama, yang sudah ditandatangani, itu tidak hanya berakhir di sini," tambahnya.
Namun, ia tidak merinci upaya konkret yang akan dilakukan.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Korban Kawin Kontrak Dibeli Rp 400 Juta oleh Warga Tiongkok
Pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi, menjelaskan bahwa kawin tangkap bukan budaya murni Sumba yang diwariskan secara turun-temurun.
"Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua [perempuan] lalu menanyakan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme - 'Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?' - begitu di Sumba Timur."
"Kalau di Sumba Barat - 'Apakah di sini ada bibit padi? Bibit jagung?' - itulah maksudnya, tidak langsung," kata Frans kepada BBC News Indonesia via telepon (5/7/2020).
Baca juga: Soal Kasus Kawin Kontrak, Polisi Diminta Bongkar Dugaan Pemalsuan Dokumen
Setelah pertanyaan itu dijawab, lanjut Frans, baru prosedur peminangan resmi dimulai, termasuk pembahasan tanggal pernikahan dan penyerahan belis.
Tradisi belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita sebelum melangsungkan pernikahan.
Penyerahan belis tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kerbau, kuda maupun mamuli (perhiasan), dan sarung kain tradisional.
Menurut Frans, 'kawin tangkap' adalah sebuah praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum.
Baca juga: Dedi Mulyadi Siap ke China untuk Jemput Para Korban Kawin Kontrak
"Sampai sekarang tidak ada hukumnya. Hanya hukum sosial, dalam artian bahwa orang yang kawin seperti itu akan diomongin, hanya itu saja. Untuk memberatkan supaya jangan berlaku, itu tidak ada."
"Makanya saya sarankan, kalau perlu, mereka ini diberi denda misalnya 10 ekor kerbau untuk memberatkan dia sehingga ada rasa ketakukan sedikit," kata pengamat budaya yang berdomisili di Waingapu itu.
Meski demikian, sebagian orang memandang 'kawin tangkap' memang budaya tradisional setempat, seperti pengalaman Citra.
Baca juga: Korban Kawin Kontrak di China: Tolong Kami Pak, Pulangkan Kami dengan Cepat
Kejadian yang dialami Citra meninggalkan luka trauma yang tidak mudah dilepas. Apalagi, Citra mengungkap ia justru menghadapi stigma karena dianggap tidak menghormati adat setelah ia berhasil melepaskan diri dari penangkapannya.
Wanita yang kini sudah menikah dengan pria pilihannya sendiri itu berharap hal itu tidak terjadi lagi pada perempuan di Sumba.
"Ini memang budaya dari nenek moyang. Tapi budaya yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Jadi budaya ini harus dihentikan karena sangat merugikan kami sebagai kaum perempuan," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.