Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lusia Peilouw
Direktur LSM INAATA Mutiara Maluku

Direktur LSM INAATA Mutiara Maluku | Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Maluku | Sejak 1999 aktif sebagai pegiat sosial melalui LSM lokal di Maluku, fokus pada isu-isu HAM dan pembangunan sosial khususnya bagi perempuan dan anak | Tergabung dalam Indonesia Social Justice Network (ISJN), sejak 2015 menjabat sebagai salah satu Wakil Ketua Presidium Nasional


Belajar dari Kasus Balita Rafadan, Orang Miskin Dilarang Sakit?

Kompas.com - 06/07/2020, 23:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2005 seorang penulis buku-buku perlawanan bernama Eko Prasetyo menuliskan satu buku bernada kiri yang diberi judul Orang Miskin Dilarang Sakit. Judul yang pedas menampar, bukan?

Berangkat dari pengalaman pribadinya dalam mengakses layanan yang buruk dan tidak murah, penulis mengungkap secara lugas fakta-fakta ketidakadilan dan kebobrokan layanan kesehatan publik.

Lima belas tahun berselang, kini tak dipungkiri berbagai upaya pembenahan dilakukan. Namun mesti diakui pula bahwa masih ada begitu banyak fakta miris dalam dunia kesehatan berseliweran di ruang waktu yang telah lalu.

Di Maluku saja, dalam bulan Mei 2020 ini kita dihadapkan pada fakta yang menyedihkan. Tercatat tiga pasien meninggal setelah ditolak oleh pihak rumah sakit.

Salah satu dari mereka adalah seorang bocah empat tahun warga Kota Ambon Manise yang berjuang melawan penyakit anemia pplastik. Suka atau tidak, kisah akhir hidup Rafadan mesti menjadi ukuran kematangan sense of humanity kita.

Baca juga: Pejabat RSUD Ambon Meninggal Dunia karena Terpapar Corona

Adalah di tanggal 21 Mei 2020, semesta dan nurani menjadi saksi peristwa naas yang menimpa Rafadan, bocah malang itu. Penolakan yang diterima di lima rumah sakit berujung maut. Ini bukan mimpi, bukan pula sinetron.

Di tiga rumah sakit, Rafadan ditolak oleh petugas dengan alasan yang berhubungan dengan pandemi Covid-19, di sebuah rumah sakit, ia ditolak juga oleh petugas dengan alasan tidak tersedianya dokter spesialis pada saat itu.

Kemudian di satu rumah sakit lainnya dia juga tak bisa berobat karena rumah sakit tersebut tutup terkait Covid-19.

Dalam perjalanan ke Rumah Sakit yang keenam, Rafadan mengembuskan nafas terakhir. Perjuangan Rafadan dan kedua orangtuanya berakhir tragis.

Beberapa media online sempat mewawancarai ibu dari Rafadan. Beliau menyatakan kekesalannya, “Anak saya mati sia-sia”.

Mati sia-sia! Artinya, kalau saja rumah sakit masih menyediakan ruang layanan, apapun itu, sang ibu berkeyaninan masih bisa mendekap anaknya, walaupun dalam kesakitan. Beliau hanya bisa menangis, menjerit, dan mengumpat sehabis-habisnya.

Kisah tragis Rafadan melahirkan empati terhadapnya, hingga kecaman terhadap rumah sakit. Di dunia maya, ada sebagian netizen menerima apa yang menimpa Rafadan sebagai takdir hidupnya. Bahwa itu sudah ajalnya, sudah memang ditakdirkan untuk berpulang ke pelukan Penciptanya dengan cara yang demikian.

Bagi saya, apapun alasannya, penolakan terhadap pasien, apalagi usia balita seperti Rafadan, adalah hal yang sangat tidak manusiawi. Bukankah, bagi setiap orang sakit namun masih ingin tetap mencari kesembuhan, rumah sakit adalah harapan?

Baca juga: Kisah Pilu Isyana, Bayi yang Sempat Ditolak RS dan Meninggal, Sang Ibu: Tak Punya Hati Nurani

Hal penolakan orang sakit seperti ini sesungguhnya telah menjadi kekhawatiran publik, pada saat RSUD dr Haulussy mulai ditutup oleh Pemerintah Provinsi pada tanggal 13 Mei lalu, setelah 17 tenaga medisnya dinyatakan terkonfimasi positif Covid-19.

Kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Tidak terpikirkan, bahwa rumah sakit yang lain di Kota Ambon ini pun ikut menutup akses layanan kesehatan.

Memang, dalam situasi pandemi saat ini, kewaspadaan pihak rumah sakit tidak bisa ditawar-tawar. Kita sangat bisa memakluminya. Itu pun untuk kebaikan kita.

Dengan kata lain, ketika tenaga medis terkonfirmasi positif terpapar virus corona, ataupun sebab lainnya yang terkait dengan penyebaran virus itu, harusnya kita bisa menerima sebagai sebuah kewajaran jika rumah sakit tempat mereka bekerja ditutup.

Walaupun di tempat lain, rumah sakit yang tenaga medisnya terpapar tetap membuka pelayanan umum. Saya ingin mengambil Semarang sebagai pembanding.

April 2020 lalu, puluhan tenaga medis di RSUP Kariadi Semarang yang merupakan rumah sakit rujukan perawatan pasien Covid-19 di Jawa Tengah, dikabarkan terpapar Covid-19. Apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah menyediakan Hotel Kesambi Hijau milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk menjadi tempat isolasi dokter dan perawat. (Kompas.com, 16/4/2020)

Sepanjang pencarian saya akan informasi penutupan RS Kariadi akibat kondisi tenaga medis ini, saya tidak menemukan apa-apa. Muncul pertanyaan yang saya sendiri tak bisa menjawab secara pasti adalah, mengapa kita berbeda?

Mungkinkah insfrastuktur yang kita miliki tidak sebaik di tempat lain? Ataukah ketersediaan tenaga medis di sini sangat terbatas, berbeda dengan di luar sana? Ataukah kita tidak cukup siap dari sisi dukungan anggaran?

 

Semoga saja pihak rumah sakit kita sudah berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik, dan sampai penolakan terjadi, sebatas itulah kemampuan mereka. Penolakan menjadi satu-satunya jalan. Itulah yang terbaik bagi mereka.

Pada titik ini, menurut saya Pemerintah Provinsi yang merupakan “pemegang kendali atas pelayanan bidang kesehatan publik di daerah ini mesti diminta pertanggungjawaban.

Saya ingin melihat hal ini lebih jauh dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Realita penolakan orang sakit oleh pihak rumah sakit adalah pengabaian akan kewajiban memberikan penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat akan kesehatan.

Ketika itu dilakukan oleh rumah sakit milik pemerintah, maka negara telah memasung HAM warganya. Jika itu dilakukan oleh Rumah Sakit swasta pun, itu merupakan pelanggaran HAM.

Sebab pihak Rumah Sakit swasta dalam hal ini merupakan pengelola layanan yang berkaitan dengan HAM atau dikenal sebagai non-state actor sehingga juga memegang kewajiban (due diligence) sebagaimana halnya negara.

Kerangka pikir HAM ini membawa kita untuk memahami bahwa dalam keadaan dunia dilanda pandemi sekalipun, penutupan layanan rumah sakit bukan tidak boleh berdampak pada ditutupnya pelayanan bagi masyarakat.

Atas nama upaya memotong mata rantai transmisi Covid-19, bolehlah rumah sakit gedungnya ditutup. Tapi jangan menutup sama sekali pelayanannya.

Harusnya layanan tetap disediakan walaupun dalam setting-an yang lain. Dengan membangun tenda darurat, misalnya, atau membuka layanan darurat di instalasi pemerintah lain.

Atas nama kemanusiaan, orang sakit janganlah sampai ditolak begitu saja tanpa solusi. Paling tidak dibantu dengan mekanisme rujukan.

Toh, di masa pandemi ini orang akan berusaha sekuat dan sebisanya untuk tidak sakit atau tidak berurusan dengan rumah sakit. Namun ada kasus yang tidak dapat dihindari, misalnya mereka yang memang sakit sejak lama (pasien lama) seperti almarhum Rafadan.

Ada juga kasus yang terjadi di luar kemampuan mengendalikan, misalnya sakit akibat kecelakan atau musibah. Bagi mereka harusnya tetap diberikan solusi atau alternatif layanan medis, sekecil apapun itu akan lebih baik dari pada menolak.

Dimensi kemanusiaan mesti menjadi pertimbangan mendasar dalam pengambilan kebijakan oleh setiap institusi pemerintah maupun nonpemerintah. Apalagi pada sektor kesehatan yang merupakan sektor vital di mana mati dan hidup seseorang diperjuangkan.

Perkara mati atau hidup adalah otoritas keilahian Sang Pemberi Hidup. Tetapi memperjuangkan kehidupan adalah ikhtiar yang diamanatkan bagi manusia.

Jika negara tidak lagi sanggup mendukung ikhtiar itu, maka sesungguhnya negara tidak punya hati nurani. Tidak manusiawi. Dengan begitu, seharusnya pemerintah daerah mengkampanyekan saja: semua orang dilarang sakit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com