Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Jack Harun, Mantan Anak Buah Noordin M Top yang Kini Suarakan Pancasila

Kompas.com - 05/07/2020, 12:03 WIB
Dani Julius Zebua,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com – Ustaz Joko, begitu orang memanggil Joko Trihermanto (44) dari Surakarta, Jawa Tengah.

Mimiknya tenang dengan senyum ramah dalam balutan koko sederhana dan peci hitam.

Dia kelahiran Pedukuhan Wanagiri di Kalurahan (desa) Jatirejo, Kapanewon (kecamatan) Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nama panggilannya Jack Harun.

Baca juga: Meninggal karena Sakit, Napi Teroris Bom Sibolga Dimakamkan di Tapanuli Tengah

Di balik penampilan sederhananya, Joko menyimpan masa lalu yang terkait teror Bom Bali 2002 silam.

Joko ini punya peran sangat penting dalam kelompok Noordin M Top. Dia ikut meracik bahan dan merakit bom dengan daya hancur besar saat itu.

“Bom Bali sebagai tukang yang meramu (bom) dan membuat timer (pengatur waktu),” kata Joko usai acara Bakti Bhayangkara bersama Yayasan Gema Salam di Lendah, Sabtu (4/7/2020).

Ketika itu, Joko mengakui memerangi siapa pun yang menurut ia dan kelompoknya tidak sepaham, utamanya polisi yang selalu disebut sebagai thaghut.

Joko bersama kelompoknya pernah tidak mengakui Pancasila, keberadaan Negara Republik Indonesia, bahkan menganggap orang tidak sealiran sebagai kafir.

Baca juga: BNPT: Jaringan Teroris Aktif Rekrut Anggota Baru Selama Pandemi Covid-19

Itu kisah lama bagi Joko. Dia yang sekarang sudah berbeda sama sekali setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

Dia bertekad menjunjung Pancasila, mendukung NKRI juga berbagi program pemerintah.

Yayasan Gema Salam menyalurkan lebih dari 500 masker dan 40 liter handsanitizer untuk warga Kulon Progo, terutama di Dusun Wanagiri. Semua bikinan para eks narapidana terorisme yang kini menjadi binaan Gema Salam. Ketua Yayasan, Joko Tri Hermanto, tampak menyerahkan bantuan itu, Sabtu (4/7/2020).KOMPAS.COM/DANI JULIUS Yayasan Gema Salam menyalurkan lebih dari 500 masker dan 40 liter handsanitizer untuk warga Kulon Progo, terutama di Dusun Wanagiri. Semua bikinan para eks narapidana terorisme yang kini menjadi binaan Gema Salam. Ketua Yayasan, Joko Tri Hermanto, tampak menyerahkan bantuan itu, Sabtu (4/7/2020).
Kini, dia berjuang dalam upaya deradikalisasi lewat Yayasan Gema Salam yang berdiri sejak 2018.

Yayasan itu berisikan mantan narapidana teroris (eks napiter) sebanyak dua dari DIY dan sekitar 50 orang dari Jateng.

Lewat Gema Salam, mereka berupaya membangun kembali kehidupan gotong royong dalam suasana berbangsa dan setanah air.

Aksinya di bidang sosial dan ekonomi. Mulai dari bakti sosial hingga penyuluhan di berbagi tempat pendidikan maupun lembaga pemasyaraktan.

Baca juga: Detik-detik Penangkapan Terduga Teroris, 2 Kali Tembakan Kejutkan Warga

Untuk aksi di bidang ekonomi bertujuan membuat para mantan napi teroris meningkat kesejahteraannya sehingga mereka tidak kembali ke masa lalu.

Joko beserta Gema Salam ditemui usai menyalurkan 500 masker dan 40 liter handsanitizer untuk warga Kulon Progo, terutama di Wanagiri.

“Gema Salam dengan anggota di Jogja dan Solo kali ini melakukan bakti sosial. Ini bukti kami bersahabat dan kembali ke NKRI. Kami juga bekerja sama dengan Polri. Yang dulu, kami menganggap Polri itu thaghut. Kami berikrar semampunya untuk mewujudkan berbagai program,” kata Joko usia bakti sosial.

Sejak SMA

Pemikiran radikal berawal dari sekolah. Joko menceritakan dirinya mulai tertarik dengan pemikiran baru akan ideologi itu sejak masih menjadi junior di sekolah menengah atas di Lendah.

Diskusi yang diikutinya bersama kakak kelasnya membuat cara pandang pada ideologi negara dan NKRI ini berubah.

“Awalnya ditawari kakak kelas bahwa Pancasila dan UU itu bukan dari Islam. Sebagai anak yang baru belajar agama jadi tertarik,” kata Joko.

Baca juga: Orangtua Terduga Teroris di Ambon: Anak Saya Normal-normal Saja

Memasuki jenjang perguruan tinggi di Surakarta, pemikiran ini menguat.

Joko semakin banyak belajar, bahkan terlibat sebagai relawan dalam kerusuhan Ambon dan Poso.

Keterampilan elektronika yang dimiliki dimanfaatkan di sana.

Dia bisa membuat bom, baik bom yang anti-diangkat, anti-dibuka, bom waktu, dan bom yang bisa dikendali dari jauh.

Keahlian itu dipakai dalam kerusuhan Ambon dan Poso.

Semasa kuliah itulah pula dia bertemu para alumni relawan, baik di kerusuhan Ambon, Poso, bahkan yang pernah jadi relawan perang angkatan bersenjata di Afghanistan.

Dari pertemuan-pertemuan itu terbersit rencana aksi besar di Bali.

“Pulang dari Ambon dan Poso, kita berpikir apa yang bisa kita bantu karena banyak orang Islam dizalimi dan dibunuh, seperti Afganistan dan Palestina. Terpikir untuk melakukan cara yang sama untuk membuktikan bahwa kami bantu saudara kami. Maka kami terpikir untuk bunuh sebanyaknya di Indonesia. Kami survei sana sini dan memilih Bali,” kata Joko.

Menurut Joko, masuknya pemikiran radikal seperti ini bisa terjadi pada semua lapisan dan tingkat pendidikan.

Baca juga: Densus 88 Tangkap 3 Terduga Teroris di Kampar

Mereka yang tidak berpendidikan dan dalam jerat kesulitan ekonomi semakin mudah direkrut untuk masuk dalam kegiatan radikal.

Sentimen SARA dipakai untuk membangkitkan kebencian, utamanya agama.

Mereka mengaitkan pemeluk agama Islam seolah disakiti di sana sini. Mereka juga mengaitkan Pancasila, UU dan NKRI bukan dari Islam.

Dia mengakui semua itu pengalaman dan pemikiran keliru. Kini, Joko berniat menyuarakannya lewat berbagai aksi seperti bakti sosial, penyuluhan di sekolah, universitas, instansi, hingga lembaga pemasyarakatan.

Deradikalisasi ini baik lewat penyuluhan, sarasehan, dialog, dan berbagi pengalaman.

Baca juga: Seorang Terduga Teroris yang Ditangkap di Ambon Bekerja di Bengkel

Apalagi untuk anak sekarang lebih banyak informasi hanya dari media sosial.

“Penyuluh saya arahkan ke lapas. Tidak boleh menyerah karena penolakan (napiter). Mereka pasti butuh, misal istri melahirkan atau anak sakit. Pasti banyak cerita,” kata penjual soto ini.

Selain itu, tetap terus mendorong mantan napi teroris meningkat kesejahteraannya sehingga mereka tidak kembali ke pemikiran radikal lagi.

Faktor Ibu

Suatu saat para tetangga dan kerabat terkejut melihat wajah Joko di televisi lantaran terlibat dalam tragedi Bom Bali 2.

Tumirah (74), ibu dari Joko, mengaku sangat terluka ketika itu.

“Tahunya sejak jadi teroris, saya hanya bisa terus menangis,” katanya.

Joko anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama seorang ibu rumah tangga. Kakak keduanya pegawai negeri.

Baca juga: Polisi: Terduga Teroris yang Ditangkap di Mempawah Jadi Relawan ISIS di Medsos

Setelah lulus SMA, dia langsung kuliah di Solo. Tumirah yang guru SD ketika itu, menyekolahkan anak bungsunya dengan gajinya.

Sayangnya, Tumirah mengaku tidak tahu apa pun kegiatan Joko selain kuliah.

“Kami tidak tahu kegiatannya seperti itu. Tahunya kuliah dan sering ngaji,” kata Tumirah.

Termasuk ketika menikahkan Joko di Solo pun, Tumirah tidak tahu Joko sudah terlibat aktivitas radikal.

Joko ditangkap di Solo pada 2004. Dia langsung terbang ke Yogyakarta.

“Simbok syok. Saya ditangkap hari Kamis. Pengambilan barang bukti hari Minggu,” kata Joko.

Baca juga: Seorang Terduga Teroris Meninggal di RS Polri karena Sakit, Ini Penjelasan Polisi

Polisi menyita 800 peluru dan barang bukti lain dari rumahnya di Wanagiri.

Joko menceritakan, Tumirah yang akhirnya menyadarkan dirinya.

Tumirah terus menasihati Joko, baik lewat surat maupun telepon yang dipinjamkan polisi padanya.

“(Kembali sadar karena) faktor simbok, dia selalu menasihati saat dipenjara. Lewat telepon yang dipinjami penyidik dan surat. Dia selalu mewanti-wanti dan nasihati hingga akhirnya saya sudah niat untuk ikut nasihat orang tua. Dan bisa kembali dari jalan tidak benar,” katanya.

Jack Harun pun menerima vonis enam tahun penjara. Dia akhirnya bebas setelah menjalani kurungan 4,5 tahun karena mengajukan masa pembebasan bersyarat.

Pascabebas, Joko kini terlibat dalam giat deradikalisasi lewat yayasannya.

Dia berniat terus terlibat dalam pembinaan eks napiter, mengajak kembali ke NKRI, mendukung program perintah dan melakukan aksi deradikalisasi.

“Kami berikrar semampunya untuk mewujudkan berbagai program,” katanya.

“Harapannya ke depan kita semua bisa bersinergi gotong royong dan bahu membahu membangun NKRI,” kata Joko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com