Semasa kuliah itulah pula dia bertemu para alumni relawan, baik di kerusuhan Ambon, Poso, bahkan yang pernah jadi relawan perang angkatan bersenjata di Afghanistan.
Dari pertemuan-pertemuan itu terbersit rencana aksi besar di Bali.
“Pulang dari Ambon dan Poso, kita berpikir apa yang bisa kita bantu karena banyak orang Islam dizalimi dan dibunuh, seperti Afganistan dan Palestina. Terpikir untuk melakukan cara yang sama untuk membuktikan bahwa kami bantu saudara kami. Maka kami terpikir untuk bunuh sebanyaknya di Indonesia. Kami survei sana sini dan memilih Bali,” kata Joko.
Menurut Joko, masuknya pemikiran radikal seperti ini bisa terjadi pada semua lapisan dan tingkat pendidikan.
Baca juga: Densus 88 Tangkap 3 Terduga Teroris di Kampar
Mereka yang tidak berpendidikan dan dalam jerat kesulitan ekonomi semakin mudah direkrut untuk masuk dalam kegiatan radikal.
Sentimen SARA dipakai untuk membangkitkan kebencian, utamanya agama.
Mereka mengaitkan pemeluk agama Islam seolah disakiti di sana sini. Mereka juga mengaitkan Pancasila, UU dan NKRI bukan dari Islam.
Dia mengakui semua itu pengalaman dan pemikiran keliru. Kini, Joko berniat menyuarakannya lewat berbagai aksi seperti bakti sosial, penyuluhan di sekolah, universitas, instansi, hingga lembaga pemasyarakatan.
Deradikalisasi ini baik lewat penyuluhan, sarasehan, dialog, dan berbagi pengalaman.
Baca juga: Seorang Terduga Teroris yang Ditangkap di Ambon Bekerja di Bengkel
Apalagi untuk anak sekarang lebih banyak informasi hanya dari media sosial.
“Penyuluh saya arahkan ke lapas. Tidak boleh menyerah karena penolakan (napiter). Mereka pasti butuh, misal istri melahirkan atau anak sakit. Pasti banyak cerita,” kata penjual soto ini.
Selain itu, tetap terus mendorong mantan napi teroris meningkat kesejahteraannya sehingga mereka tidak kembali ke pemikiran radikal lagi.