Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Dosen ITB Bikin Ventilator Indonesia, Rela Dicibir, Tidur di Masjid, hingga Dapat Dana Rp 10 M

Kompas.com - 02/07/2020, 06:45 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

Bertemu dokter Unpad

Ia mencoba mengembangkan ventilator dengan alat seadanya. Karena tidak memungkinkan, ia mengajukan dana pada Salman Rp 50 juta sebagai modal awal pembuatan ventilator.

Setelah jadi, ia memosting prototype ventilator dan memostingnya di media sosial. Lalu ia tulis membutuhkan dokter untuk mereview ventilatornya.

Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan dokter anestisi, Ike Sri Rezeki dari Unpad.

Dengan tegas Ike mengatakan, rancangan Syarif bagus dan banyak. Namun yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah Continous Positive Airway Pressure (CPAP).

Baca juga: Jabar Produksi Alat Rapid Test Buatan Unpad-ITB, Tingkat Akurasi 2 Kali Lipat

CPAP adalah satu fungsi paling sederhana pada ventilator untuk memberikan tekanan positif pada paru-paru agar terus megembang, tidak kuncup.

Ini penting karena Covid-19 menghasilkan lendir yang membuat paru-paru tidak bisa menerima oksigen.

“Saya bimbang, karena yang dipakai alat sederhana, tidak menantang banget. Karena yang saya buat terbilang canggih. Tapi dalam ekosistem inovasi, voice of customer sangat penting. Makanya saya libatkan dokter,” ucap dosen ITB ini mengungkapkan.

Ia akhirnya menyetujui permintaan Ike. Meski terbilang sederhana, prosesnya tidak mudah.

Kondisi pandemi membuat material yang dibutuhkan sulit ditemukan. Apalagi material yang berasal dari luar negeri, tekendala juga oleh pengiriman sehingga tidak bisa dipastikan akan sampai kapan.

Baca juga: Ventilator Karya ITB-Unpad Lolos Uji, Siap Diproduksi dan Dibagikan Gratis

 

Rela dicibir, hingga menangis karena alat rusak

Syarif kemudian memutuskan membuat material yang dibutuhkan. Misal dalam pembuatan pompa. Ia mencari produk yang ada di Indonesia dan tidak berebut.

Pilihannya jatuh pada pompa peniup kasur. Ia modif pompa peniup kasur dengan motor yang biasa digunakan drone. Kemudian, alat itu akan dilengkapi dengan venting.

Semua proses ini sempat dicibir. Syarif dan timnya dinilai tidak akan mampu menyelesaikan ventilator. Ada juga yang bilang, Vent-I sebagai proyek “mission impossible”.

Namun keraguan sejumlah pihak itu tidak dihiraukannya. Ia terus maju, walaupun diisi dengan air mata.

“Pasien Covid harus dirawat 14 hari, maka minimal alat saya harus mampu bertahan 14 hari. Tapi begitu dicoba, hanya tahan 2 hari 2 malam. Saya perbaiki, ganti material, eh 12 jam rusak. Nangislah saya, gimana bisa nolong orang,” tutur dia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com