KOMPAS.com - Syarial Alamsyah alias Abu Rara divonis 12 tahun penjara pada kasus penusukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Kemananan (Menko Polhukam ) Wiranto.
Abu Rara adalah lulusan Fakultas Hukum kelahiran Medan yang menjadi pelaku utama penusukan Wiranto yang sedang melakukan kunjungan kerja di Pandeglang, Banten pada Kamis, 10 Oktober 2019 lalu.
Saat itu Abu Rara pura-pura menyalami Wiranto
Setelah mendekat, Abu Rara mengeluarkan senjata tajam dan menusuk perut Wiranto yang baru saja turun dari mobil di Alun-alun Menes, Pandeglang Banten.
Abu Rara tak sendiri. Ia ditemani sang istri, Fitria Diana yang divonis 12 tahun di kasus yang sama.
Baca juga: Divonis 12 Tahun Penjara, Abu Rara Penusuk Wiranto Tidak Ajukan Banding
Abu Rara memiliki nama asli Syarial Alamsyah. Ia lahir di Medan pada tahun 1968. Saat vonis dijatuhkan, Abu Rara berusia 52 tahun.
Abu Rara dikenal pintar dan cerdas. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya di fakultas hukum di salah satu universitas ternama di Sumatera Utara.
Kala itu, ia dan keluarganya tinggal di Jalan Alfakah, Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli.
Tahun 1995, saat ia berusia 27 tahun Syarial menikah dengan Netty. Sayangnya pernikahannya hanya bertahan 3 tahun. Mereka lalu bercerai.
Perceraian dengan Netty membuat Syahrial frustasi. Ia pun mulai mengonsumsi narkoba jenis pil kurtak. Dalam pengaruh narkoba, Syarial pernah menyundutkan api rokok di keningnya setelah makan 12 butir kultak.
Tak hanya itu. Syarial juga tergila-gila dengan judi togell.
Entah alasan apa, Syarial kemudian pergi ke Malaysia. Hampir lima bulan ia tinggal di Negeri Jiran tersebut.
Baca juga: Stres hingga Tusuk Wiranto, Pelaku SA Malah Berharap Ditangkap Polisi
Ia juga kerap ke mushala untuk mengisi pengajian. Namun ia menarik diri saat ceramah yang disampaikannya tidak disukai warga.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Syahrial pun membuka depot air hingga rental PlayStation.
Lima tahun setelah bercerai, sekitar tahyn 2000-an, Syahrial kembali menikah deengan seorang perempuan yang bernama Yuni. Dari pernikahan itu, Syarial memiliki dua anak perempuan.
Baca juga: Sosok SA, Penusuk Wiranto di Mata Sahabat, Tolak Pancasila dan Ingin ke Suriah
Namun pernikahan tersebut ditentang oleh orangtua Yuni. Orangtua Yuni melaporkan Syarial ke polisi karena dianggap membawa anak gadisnya.
Saat anak keduanya berumur 10 hari, Yuni diambil paksa oleh orangtuanya.
Keberadaan Syarial sempat tak diketahui oleh kerabat dan rekannya.
Namun di tahun 2013 Syarial sempat bercerita pada Alex bercerita jika ia sempat menggarap proyek di Sulawesi Selatan.
Baca juga: Sebelum Menikam, SA Pura-pura Ingin Menyalami Wiranto
Namun proyek tersebut gagal. Padahal, menurut Syahrial pada Alex, keuntungan proyek tersebut akan digunakan untuk jihad ke Suriah.
"Kalau itu jadi, nanti akan digunakannya untuk pergi ke Suriah. Kalau saya, jihad itu ya untuk keluarga," kata Alex menirukan omongan sahabatnya pada Kamis (10/10/2020).
Alex bercerita ia terakhir bertemu dengan Syarial pada 2015. Saat itu, Syahrial tinggal dengan istrinya yang bercadar bersama dua anak perempuan dan dua anak lelaki.
Baca juga: Polri: Pria Penusuk Wiranto Berinisial SA, yang Perempuan FA
Syahrial dan keluarganya kemudian pindah setelah rumahnya di Medan digusur untuk pembangunan jalan Tol Tanjung Mulia-Helveti.
Alex baru mengetahui kabar Syahrial setelah membaca berita penusukan Wiranto yang ternyata pelakunya adalah rekan baiknya sejak masih muda.
"Sampai akhirnya dia meninggalkan rumah itu. Tak tahu ke mana. Sampai akhirnya sekarang. Tak tahu aku sampai segini. Berarti tekad dia sudah bulat. Gemblung," katanya.
Baca juga: Fakta Sidang Vonis Abu Rara dkk Penusuk Wiranto, Hukuman Lebih Ringan dan Tak Ajukan Banding
Satu hari sebelum penusukan tepatnya 9 Oktober 2020 sekitar pukul 15.00 WIB, istri Abu Rara, Fitria Diana kepada suaminya bercerita mendengar suara helikopter dari arah alun-alun yang dekat dengan kontrakannya.
Saat itu mereka berpikir polisi akan menangkap Abu Rara. Pria 51 tahun tersebut kemudian meminta istrinya mematikan ponsel dan mengajak istri dan anaknya RA (12) ke Alun-alun Menes untuk mencari tahu tujuan kedatangan helikopter itu.
Baca juga: Divonis 12 Tahun Penjara, Ini Sosok Abu Rara dan Motifnya Menusuk Wiranto
Abu Rara mengira helikopter tersebut ditumpangi Densus 88 untuk menangkap dirinya yang sudah berbaiat pada Negera Islam Irak dan Syuriah (ISIS).
Selain itu jaksa juga menjelaskan jika Abu Rara sempat khawatir dan merasa dirinya masuk daftar pencarian orang (DPO) setelah polisi menangkap anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Bekasi, Abu Zee, pada September 2019.
"Terdakwa ketakutan dan merasakan dirinya sudah masuk dalam daftar pencarian orang oleh aparat kepolisian maka tidak lama lagi terdakwa juga akan tetap berdakwah akan dianggap hidup sia-sia jika tidak melakukan perlawanan maupun melakukan amaliah jihad berupa penyerangan maupun perlawanan," kata jaksa Herry di Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (9/4/2020).
Baca juga: Istri Abu Rara Divonis 9 Tahun Penjara Terkait Kasus Penusukan Wiranto
Saat mengetahui akan ada kunjungan Menko Polhukam yang saat itu dijabat Wiranto, Abu Rara kemudian mengajak istri dan anaknya merencanakan penyerangan terhadap Wiranto.
Abu Rara sempat membuat status pamitan di WhatsApp. Ia juga menghubungi saksi Ummu Faruq bahwa dirinya akan melakukan amaliah menyerang Wiranto.
Pada Kamis, 10 Oktober 2019 sekitar pukul 05.00 WIB, Abu Rara memimpin baiat istri dan anaknya dalam rangka mempersiapkan amaliah.
Ia kemudian memberikan mereka masing-masing satu pisau kunai untuk penyerangan.
Baca juga: Di Persidangan, Abu Rara Minta Maaf karena Lukai Ajudan Wiranto
Sebelum berangkat, terdakwa berpesan kepada istri dan anaknya agar nanti di Alun-alun Menes tidak bertegur sapa, Seolah-olah tidak saling kenal.
"Jangan dekat, tapi jangan jauh-jauh juga," ujar Jaksa Herry.
Abu Rara kemudian menyerang dengan cara menusuk perut Wiranto pakai pisau kunai.
Wiranto ditikam pada bagian perut di dekat pintu gerbang Lapangan Alun-alun Menes, Desa Purwaraja, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019).
Baca juga: Saksi: Abu Rara Penusuk Wiranto Sempat Berontak Saat Ditangkap Polisi
Setelah Wiranto terjatuh, Abu Rara melakukan perlawanan dengan membabi buta, sehingga melukai bagian dada Fuad Syauqi ajudan Wiranto.
Begitu pun dengan istri Abu Rara, yang menyerang dari belakang menggunakan pisau kunai dan mengakibatkan Kompol Daryanto mengalami luka di bagian punggung
Di persidangan yang digelar pada Kamis (23/4/2020) lalu, Abu Rara melalui kuasa hukimnya, Faris sempat meminta maaf kepada ajudan Wiranto, Ahmad Fuad Syauqi karena melukainya dengan senjata tajam.
Baca juga: Terduga Teroris SA di Magetan Diduga Jabat Bendahara Jamaah Islamiyah
Vonis ini lebih rendah empat tahun dibandingkan dengan tuntutan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut 16 tahun penjara.
"Bismillah saya terima tanpa celah," ujar Abu Rara.
Majelis Hakim pun mengetuk palu tanda sah untuk mengesahkan keputusan.
Terkait peristiwa tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK) telah mengajukan permohonan kompensasi sebesar Rp 65.323.157 atas nama Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto atas peristiwa penusukan tersebut.
Baca juga: LPSK: Wiranto Tak Pernah Minta Kompensasi Terkait Penusukannya
Kompensasi tersebut adalah kewajiban negara terhadap korban tindak pidana terorisme.
Kompensasi tersebut dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Kamis (25/6/2020).
Wiranto mendapat kompensasi sebesar Rp 37.000.000. Sementara satu warga lainnya, yakni Fuad Syauqi ajudan Wiranto mendapatkan kompensasi sebesar Rp 28.232.157.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengapresiasi putusan tersebut.
"Wiranto sebetulnya tidak mengajukan kompensasi atas peristiwa yang menimpanya. Namun, berdasarkan aturan, LPSK harus tetap memfasilitasi kompensasi," ungkap dia.
Baca juga: Majelis Hakim Kabulkan Kompensasi Wiranto, LPSK Beri Apresiasi
Ia menegaskan, dalam memberikan layanan kepada korban, termasuk korban tindak pidana terorisme, LPSK mengedepankan asas tidak diskriminatif sebagaimana yang tertuang dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
"Artinya, bantuan yang diberikan kepada korban tidak mengenal latar belakang apapun. Baik pejabat maupun masyarakat biasa, semuanya akan mendapatkan perlakuan yang sama," tegas dia.
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Bonfilio Mahendra Wahanaputra Ladjar, Achmad Nasrudin Yahya, Dewantoro | Editor : Irfan Maullana, Sandro Gatra, Fabian Januarius Kuwado, Khairina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.