“Jumlah pastinya sulit diperoleh, karena mereka belum tentu bersedia mengaku, dan di KTP memilih untuk menulis agama sesuai yang secara formal diakui negara, yang enam itu,” kata Al Makin kepada VOA Indonesia.
Menurut catatan Al Makin, di masa Orde Lama, kepercayaan lokal tumbuh subur dan memiliki tempat di Indonesia.
Setelah tahun 1965, komunitas ini pelan-pelan menurun eksistensinya karena sering menerima tuduhan sebagai penganut komunis.
Baca juga: Menag: Prinsipnya, Hak Sipil Penghayat Kepercayaan Harus Dipenuhi
Soeharto berupaya memanfaatkan keberadaan dan pengaruh mereka di era Orde Baru.
Untuk mengelolanya, menurut Al Makin, Orde Baru mendirikan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan.
Pasca Reformasi, penghayat kepercayaan kembali menemukan kebebasan untuk menjalankan keyakinan. Namun di sisi lain, tumbuh pula ruang bagi kelompok lain untuk melakukan intimidasi.
Tonggak besar diperoleh pada 2017, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penghayat dapat memasukkan kepercayaannya ke dalam KTP.
Baca juga: Tak Akan Ada E-KTP Khusus Warga Penghayat Kepercayaan
Namun, kata Al Makin, kemajuan luar biasa itu lebih banyak hadir secara administratif.
Di lapangan, butuh perjuangan panjang untuk mencapai tahap ideal. Di sektor pendidikan, kata Al Makin, kondisinya bahkan masih jauh dari harapan.
“Pendidikan kita mulai SD sampai perguruan tinggi, tidak mengarah kepada kurikulum keberagaman. Agama di pendidikan kita eksklusif, agama formal. Jadi, kemajuannya ada di level hukum nasional dan politik, tetapi dalam level praksis di masyarakat dan pendidikan masih jauh. Perlu reformasi luar biasa di dua kementerian, yaitu Kemendikbud dan Kementerian Agama,” tambah Al Makin.
Menurut akademisi yang konsen pada agama-agama asli Indonesia ini, idealnya pendidikan agama di sekolah membuka ruang belajar mengenai agama atau kepercayaan lain.
Baca juga: Setara Institute: E-KTP Khusus Penghayat Kepercayaan Timbulkan Diskriminasi
Dengan demikian, kelas menjadi ruang di mana siswa belajar memahami perbedaan. Tidak hanya agama resmi yang harus diperkenalkan, tetapi juga aliran kepercayaan.
Dengan begitu, terjalin dialog saling memahami, untuk membangun toleransi di tingkat sekolah. Selain itu, penghayat kepercayaan, tambahnya, juga harus lebih tampil di masyarakat.
“Mereka harus berani bersuara, dan kita harus berani mendukung mereka. Butuh keberanian. Suarakan kepentingan mereka pada pemerintah. Kita sebagai intelektual, peneliti, warga negara, harus mendukung mereka. Penghayat kepercayaan harus memiliki daya tawar,” tegas Al Makin.
Baca juga: MUI: Pelayanan Hak Sipil terhadap Penghayat Kepercayaan Tak Boleh Berbeda
Angin segar yang dihembuskan negara bagi penghayat kepercayaan di tanah air memberi ruang besar sebagai payung hukum. Namun, praktiknya di lapangan butuh perubahan di banyak sektor.
Perubahan ini patut diapresiasi, dalam bentuk dorongan bagi penghayat kepercayaan untuk menuntaskan perjuangan mereka.
Tidak hanya di sektor pendidikan, tetapi juga juga banyak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.