Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan Seksual UII Yogyakarta, Korban Tak Hanya di Indonesia Tapi Juga di Australia (2)

Kompas.com - 17/06/2020, 07:37 WIB
Rachmawati

Editor

Kekhawatiran Annisa diamini oleh Meila Nurul Fajriah dari LBH Yogyakarta, yang menyebut tak semua penyintas berani melaporkan kasusnya ke jalur hukum "karena masih ada ketakutan".

Baca juga: Korban dan Pelaku Kekerasan Seksual, Simak Faktor Risikonya

Merujuk pada survei daring tentang kekerasan seksual yang diadakan Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene, 93 persen penyintas memilih tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialami ke ranah hukum.

Sebagian besar dari mereka mengaku "malu" sebagai alasan utama, sementara yang lain takut disalahkan atau tidak dipercaya, tidak memiliki bukti yang cukup, tidak didukung keluarga dan teman, serta diintimidasi oleh pelaku.

Sedangkan hanya 1% penyintas yang memilih menempuh jalur hukum mendapat penyelesaian atas kasusnya, sementara 6 persen yang melaporkan kasusnya ke jalur hukum, akhirnya menyaksikan pelaku bebas dari jerat hukum.

Baca juga: Sebabkan Trauma Mendalam, Begini Cara Bantu Korban Kekerasan Seksual

Dua penyintas berniat melanjutkan ke jalur hukum

Betapapun, dua penyintas pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh IM memberanikan diri untuk melanjutkan kasusnya ke jalur hukum, seperti diungkapkan oleh Meila dari LBH Yogyakarta.

"Tapi masih ragu-ragu dan secara psikologis belum siap. Sekarang kami sedang mempersiapkan itu. Hanya saja, memang nggak bisa buru-buru," ujar Meila.

R yang mengaku belum siap melanjutkan kasusnya ke jalur hukum, mengacungi jempol keberanian teman penyintas yang berniat melakukannya. Sebab menurutnya, "hukum di Indonesia masih tumpul".

Baca juga: Ke Menteri PPPA Baru, Yohana Titip Rampungkan Penghapusan Kekerasan Seksual

Lebih jauh, R mengatakan bahwa kampus perlu membuat regulasi tentang pelecehan seksual di lingkungan kampus.

"Khawatirnya ketika ada korban yang lapor, tapi kampus tidak menanganinya dengan serius, kan sedih bagi korbannya," kata dia.

Dia berharap, kasus pelecehan ini bisa menjadi titik balik bagi kampus untuk membuat aturan pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di kampus.

Baca juga: Timus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dibentuk, PKS Menolak

Regulasi antikekerasan seksual di kampus sedang digodok

IlustrasiKOMPAS/TOTO SIHONO Ilustrasi
Ketua Tim Pencari Fakta UII Yogyakarta, Syarif Nurhidayat, mengatakan bahwa aturan "yang spesifik" tentang pelecehan seksual sedang digodok.

"Pada dasarnya di UII secara internal sudah ada aturan yang mengcover adanya tindakan tersebut dan kita kalau ada peristiwa [pelecehan seksual] bisa menanganinya dengan norma-norma yang ada, tapi dalam rangka untuk memperkuat, sekarang dalam proses penyusunan peraturan yang sifatnya spesifik berkaitan dengan pelecehan dan kekerasan seksual, atau yang kita sebut dengan ketentuan asusila," ujar Syarif.

Akan tetapi, Paul dari UII Bergerak menegaskan mahasiswa perlu dilibatkan dalam perumusan kebijakan itu agar tercipta kebijakan yang pro terhadap penyintas.

Baca juga: Hingga Agustus 2019, Ada 30 Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Karawang

Dia menegaskan UII bergerak akan terus menekan kampus untuk transparansi atas tim pencari fakta dan pelibatan mahasiwa dalam pembuatan regulasi.

"Karena pengalaman di UGM regulasi yang dibuat dipangkas habis-habisan oleh pihak rektorat yang tidak berpihak sama sekali kepada korban dan kita nggak tahu perkembangannya sampai sekarang ini seperti apa," kata dia.

Seperti diberitakan, kekerasan seksual yang dialami salah satu mahasiwa Universitas Gadjah Mada pada 2017 silam telah membuat rektorat UGM membuat regulasi anti pelecehan seksual di kampus.

Baca juga: Fakta Sidang Prada DP: 2 Saksi Hilang Misterius hingga Kekerasan Seksual Terhadap Fera

IlustrasiKOMPAS/TOTO SIHONO Ilustrasi
Sayangnya, ketika disahkan, rumusan regulasi kekerasan seksual setebal 21 halaman yang terdiri dari 11 bab dan 36 pasal, dipangkas hanya menjadi enam lembar dengan 18 pasal.

Pasal-pasal yang memihak penyintas dihapus sehingga regulasi itu justru memihak pelaku kekerasan seksual.

Maraknya kekerasan seksual di kampus yang terus berulang, menuai desakan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuat regulasi pencegahan kekerasan seksual di kampus sehingga kampus menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa.

Plt Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut akan membentuk tim perumus aturan tersebut, bersamaan dengan regulasi penanggulangan radikalisme dan perundungan di kampus.

Baca juga: Ini 9 Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Diatur dalam RUU PKS

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menegaskan "tidak ada ruang abu-abu" bagi pelaku kekerasan seksual, seraya menambahkan pelaku yang bersalah melakukan kekerasan seksual di kampus, harus segera dikeluarkan.

"Bagaimana pemerintah pusat bisa memberikan payung hukum untuk melindungi anak-anak ini, itu suatu hal yang kami kaji," ujar Nadiem Makarim.

"Kami belum menentukan instrumennya mana. Yang paling penting, adalah hasil akhirnya. Harus kita temuin instrumen yang hasil akhirnya bisa benar-benar melindungi, untuk mencegah itu terjadi dan juga memastikan ada hukuman atau keadilan bagi yang melakukan," cetusnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com