Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Satu Keluarga Pilih Hidup di Desa Tenggelam, Rela Jadi Benteng Terakhir Pantura Demak

Kompas.com - 04/06/2020, 06:10 WIB
Ari Widodo,
Khairina

Tim Redaksi

 

DEMAK,KOMPAS.com -Tanahku sayang tanahku tenggelam. Layaknya mantra, kalimat itu didengungkan oleh para penduduk Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah.

Tanah kelahiran mereka yang subur dan digadang gadang mampu menghidupi anak cucu hingga tujuh turunan ternyata harus lenyap ditelan abrasi ganas yang menggerogoti kampung sejak tahun 2000 an.

Muhammad Faiz, anggota BPD Desa Bedono Sayung Demak mendampingi Kompas.com, Rabu (3/6/2020) untuk napak tilas alias menyelusuri bekas desa yang kini sudah menjelma menjadi lautan.

Mengendarai perahu kecil bertenaga diesel, kami menyapa bermacam jenis mangrove dan beberapa satwa yang tersentak kaget saat kami melintas. Burung blekok dan kuntul langsung berhamburan ke udara begitu mendengar derum perahu motor yang mendekat.

Sambil menunjuk beberapa arah, Faiz bernostalgia.

"Dua puluh tahun yang lalu, di sini ada jalan aspal. Sawah sawah yang subur. Kebun kebun ditanami palawija dan di dekat pantai ada kebun kelapa."

Baca juga: Para Kades di Sayung Desak Jokowi Bangun Tanggul Laut Anti Rob

Tatapannya menerawang melewati pucuk pucuk mangrove yang kian rimbun dibesarkan oleh alam.

Sejak awal munculnya tanda tanda abrasi di pesisir laut utara ini, sebenarnya berbagai pihak sudah berusaha melakukan upaya pencegahan. Di antaranya dengan menanami mangrove.

Penanaman tanaman di habitat pesisir itu bertujuan untuk memecah ombak dan mengurangi masuknya air laut ke daratan.

Tetapi rupanya, alam memang makin tak bersahabat. Sehingga dalam kurun waktu puluhan tahun wilayah Dukuh Rejosari dan Tambaksari Desa Bedono pun musnah dilahap air laut.

Bahkan kini, air makin merajalela dengan merambah ke pemukiman warga di sebagian besar wilayah Kecamatan Sayung menjadi banjir rob yang menyambangi rumah dan jalanan hampir setiap hari.

Dua dukuh yang tenggelam tersebut masih menyisakan beberapa puing bangunan.

Puing bangunan rumah dan mushola yang masih tampak dalam pandangan hanya tembok tepat di bawah atap. Sementara lantai, pintu dan jendela sudah sepenuhnya terbenam dalam air.

Meski demikian, masih ada satu keluarga yang tetap bertahan di tengah kepungan air laut.

Sang kepala keluarga Rukani (55) dan istrinya Pasijah (50) tetap bergeming ketika ada upaya relokasi oleh pemerintah.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com