Erik menuturkan Buya Syafii Maarif juga tidak mau diistimewakan. Buya selalu menolak jika diminta untuk tidak usah mengantre.
Sehingga saat berobat di rumah sakit, puskesmas saat di bank atau mengurus paspor, Buya dengan sabar mengantre bersama orang-orang lainya.
Buya juga berinteraksi dengan siapapun.
"Intinya Buya merasa semua sama, semua orang punya hak yang sama. Kultur egaliternya itu sangat kuat sehingga kalau ngantri Buya mengantre sesuai dengan nomor, tidak mau melewati," bebernya.
Baca juga: Buya Syafii Maarif: KPK Tidak Suci, tetapi Wajib Dibela...
Saat Buya harus dirawat, maupun kala istrinya operasi lutut pihak rumah sakit berniat untuk menggratiskan.
Namun saat itu Buya Syafii Maarif menolak niat pihak rumah sakit.
"RS PKU tidak mau menerima uang (Buya), tapi akhirnya beberapa waktu kemudian istrinya dengan Buya menyumbangkan sekian untuk pembangunan di PKU,"ungkapnya.
Dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) ini menuturkan jika Buya Syafii Maarif juga senang berwisata kuliner.
Buya Syafii Maarif juga sangat suka mentraktir makan siapapun.
"Sekali saya pernah mentraktir Buya itupun saya memaksa. Sampai Buya bilang 'Anda sudah kaya ya?'," ungkap Erik sambil tertawa.
Baca juga: Buya Syafii Kecewa Politisi Indonesia Tak Ada yang Mau Naik Kelas Jadi Negarawan
Buya juga berteman dan bersahabat dengan siapapun. Dia dekat dengan para pemuka agama apapun.
"Pokoknya soal pergaulan Buya itu sudah meretas batas-batas primordial keagamaan, suku, bangsa. Untuk pergaulan Buya itu masuk ke semua lini," tegasnya.
Erik menuturkan Buya selalu mendengar segala keluh kesah orang lain. Bahkan, Buya merupakan pendengar yang baik.
"Buya itu sangat murah hati, dan yang jelas pendengar yang baik. Tidak langsung bicara, tetapi mendengarkan, mendengarkan terus baru kalau sudah, Buya baru berbicara," ujarnya.