Alah bisa karena biasa, demikian perumpamaan bagi warga sekitar di Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie.
Dahulu mereka kerap merasa terganggu dengan getaran dan suara meriam yang begitu dahsyat, tapi sekarang merasa biasa-biasa saja bahkan ada yang memanfaatkannya untuk berjualan, seperti Sadaria Zebua, kelahiran Nias yang sudah 13 tahun menetap di kawasan Pidie Aceh.
Sadaria Zebua mengatakan ketika pertama datang ke kawasan ini ia secara pribadi sangat terganggu dengan suara meriam yang rutin bersahut-sahutan selama 12 jam, tapi sekarang ia terbiasa.
Baca juga: Warga Desa yang Tetap Lakukan Tradisi Berbagi Gula Didenda Rp 200.000, Ini Alasannya
"Pertama-tama kita semua orang di pasar ini menggunakan masker, tapi karena Aceh masih wilayah hijau makanya saya tidak pakai lagi, tapi hari ini saya tetap bawa masker yang dibagi oleh aparatur desa," kata Sadaria.
Kepada keluarga, Sadaria, menerapkan prosedur kesehatan seperti yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, yakni tidak menyentuh bagian wajah dan rajin cuci tangan, meskipun kini tidak lagi menggunakan masker.
Baca juga: Lanud Adisutjipto: Tradisi Terbangkan Balon Udara Membahayakan Penerbangan
Iswandi, salah satu warga yang datang ke lokasi perhelatan tradisi meriam karbit dan menggunakan masker, mengatakan tetap datang ke lokasi meriam karbit untuk ikut euforia menyambut hari Lebaran.
Akan tetapi ia memilih untuk berada di jarak yang jauh dari kerumunan warga sekitar.
"Panitia di sini sebelumnya sudah memberitahukan, agar pengunjung yang datang untuk menggunakan masker, untuk menjaga kesehatannya sendiri, tapi pada faktanya banyak yang datang tidak menggunakan masker," kata Iswandi, warga Pidie.
Baca juga: Rayakan Idul Fitri di Tengah Pandemi, Warga Semarang Tetap Jalankan Tradisi Ziarah Makam
Sementara Nur Rabitah, warga lainnya mengatakan, "Ini sudah menjadi tradisi, sekalipun sedang (pandemi) Covid-19 tidak bisa dihentikan, karena kegiatan seperti ini hanya berlangsung sekali dalam satu tahun, jadi di sini lebih penting budaya dari pada takut dengan penyakit."
"Kami pergi sama teman - teman untuk menonton meriam karbit, tidak pakai masker karena melihat banyak orang yang tidak menggunakan masker, jadi ya ikut - ikutan juga tidak pakai masker, penyakit ini kan dari Allah, jadi kita serahkan sama Allah aja," kata Nur Rabitah, warga Pidie.
Baca juga: Tradisi Unik Idul Fitri di Berbagai Negara, dari Indonesia hingga Maladewa
Pada saat itu pula Sultan Aceh turun tangan untuk membunyikan tujuh kali dentuman yang menandakan hari kebahagiaan, tapi kini praktik ini 'disalahartikan oleh warga'.
Budayawan Aceh, Tarmizi A. Hamid, mengatakan tradisi ini bisa ditunda, untuk menyelamatkan orang, walaupun di tempat tersebut masih belum banyak orang yang terjangkit covid-19.
Baca juga: Sejarah Tradisi Membagikan Uang di Hari Lebaran
Jadi harus patuh dengan peraturan internasional, harus patuh dengan peraturan pemerintah Indonesia karena tradisi meriam ini jadi tidak terlalu penting.
"Walaupun tradisi ini sudah turun - temurun dilaksanakan, tapi bisa ditunda karena persoalan besarnya kita sedang mengalami permasalahan Covid-19 secara global dan mendunia, jadi tradisi ini tidak perlu dipaksakan untuk tetap berlangsung meski hanya setahun sekali," kata Tarmizi.
Baca juga: 3 Tradisi yang Berubah Saat Lebaran 2020 karena Pandemi Covid-19
Tarmizi menilai seharusnya masyarakat memberikan penghormatan bagi yang sedang berduka cita karena virus ini, walaupun di Aceh kasus Covid-19 masih sangat minim.
"Jika sudah mengganggu orang lain sampai harus diungsikan ke lokasi lain karena besarnya dentuman dari meriam berarti itu sudah mengganggu, dan jika sudah mengganggu itu sudah bukan lagi bagian dari adat dan budaya Aceh," kata Tarmizi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.