KOMPAS.com - Lebih dari dua juta warga Papua dan Papua Barat terancam kelaparan jika pengiriman logistik dari luar daerah, khususnya beras, terganggu pada masa pandemi Covid-19, ujar seorang peneliti pertanian dari Universitas Papua.
Untuk mencegah hal itu, sejumlah warga melakukan kegiatan berkebun massal untuk mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri.
Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat masing-masing mengatakan hingga kini stok pangan masih aman.
Baca juga: Update Covid-19 Papua: Total 652 Kasus Positif, 800 Sampel Antre Diperiksa di Lab
Namun, warga disarankan untuk memanfaatkan pekarangan untuk berkebun demi ketahanan pangan di masa pandemi.
"Saya minta kabupaten dan kota untuk sosialisasi, manfaatkan pekarangan terutama yang di desa-desa," ujar Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua, Semuel Siriwa.
Baca juga: Kasus Positif Corona di Papua Jadi 640, Ada 34 Tenaga Kesehatan Ikut Terpapar
Rumput-rumput kering berwarna kecoklatan bertumpukan di lahan itu, tapi para pemuda itu belum berhenti bekerja.
Sudah beberapa minggu belakangan, warga Distrik Wouma, Jayawijaya, sibuk menyiapkan kebun untuk ditanami bahan pangan.
Baca juga: Mimika, Kabupaten di Papua dengan Jumlah Kesembuhan Covid-19 Tertinggi
Mereka berencana menanam tanaman pangan khas Papua, yakni petatas (ubi), keladi (bete), singkong, serta sayuran.
"Sebelumnya, banyak yang main togel, judi, di pasar. Sekarang setelah pandemi harus berkebun untuk mencegah rawan pangan dan kelaparan," ujar Raimondus Mote, 38, warga distrik Wouma yang ikut berkebun.
Raimondus, mahasiswa pascasarjana di Universitas Cenderawasih, Papua, itu mengatakan kerja dilakukan oleh lebih dari 40 pemuda sejak pukul 05.00 pagi hingga 17.00 sore.
Pekerjaan minggu pertama adalah membabat rumput dan membuat pagar kebun di lahan tidur.
Baca juga: Tradisi Lebaran khas Indonesia, Kenduri Kuburan di Aceh hingga Tradisi Hadrat di Papua
Kegiatan berkebun massal itu sebelumnya sudah diarahkan oleh kepala distrik.
Namun, kata Raimondus, warga tidak bekerja karena terpaksa.
"Ini dengan sukarela dan kesadaran penuh untuk kerja. Tak ada paksaan. Antusiasime warga cukup tinggi, luar biasa," ujarnya.
Baca juga: 526 Kasus Baru Covid-19 di 26 Provinsi, Jakarta, Jatim, dan Papua Tertinggi
Gerakan berkebun massal juga dilakukan di Timika, Papua, ujar seorang warga Selianus Natkime.
Di lahan di mana mereka harus menebang pohon demi membuka lahan berkebun, ia mengatakan kegiatan itu dilakukan sesuai kearifan lokal.
"Pohon-pohon yang besar tidak usah di tebang, tetapi pohon yang kecil di bawah pohon besar itu yang ditebang supaya hutan terlindung," kata Selianus.
Baca juga: Antar Obat, Tenaga Medis Covid-19 Tewas Ditembak KKB di Papua
Sebelum pandemi Covid-19, hari-hari Maria biasanya disibukkan oleh bisnisnya menyewakan peralatan untuk pesta, seperti kursi juga tenda.
Namun, tiga bulan belakangan ini, setelah pemerintah menetapkan aturan pembatasan sosial, otomatis usahanya tak beroperasi.
Baca juga: Warga Tergeletak dengan Luka Tembak di Jalan Tambang Area PT Freeport Papua
Tanpa kesibukan seperti biasa, Maria menyibukkan diri di pekarangan rumahnya untuk berkebun, tradisi yang disebutnya diajarkannya oleh orang tuanya.
Baginya berkebun membantunya menghemat di tengah masa sulit tanpa pemasukan.
"Ada sayur, uang bisa kami belanjakan yang lain," ujarnya.
Meski keadaannya sulit, Maria mengatakan ia mencoba mengambil hikmah dari pandemi ini.
Baca juga: Penyerangan Pos Polisi Paniai, Kapolda Papua Sebut karena Kelalaian Anggota
"Saya belajar dari mereka. Karena keadaan sekarang, saya termotivasi, 'harus tanam, harus tanam'," ujarnya.
Sejumlah kelompok masyarakat, seperti Papua Chef Jungle di Papua serta Bentara Papua yang bermarkas di Manokwari, Papua Barat, juga melakukan pembagian bibit pada masyarakat untuk memotivasi mereka berkebun.
Baca juga: Kapolda Papua: Hubungan Pelaku Penyerangan dan Polisi di Pos Baik-baik Saja
Charles Toto, pegiat pangan lokal Papua mengatakan, mengatakan pandemi ini bisa menjadi momentum bagi warga untuk kembali pada tradisi berkebun.
"Sudah saatnya kita kembali ke kebiasan nenek moyang kita; kebiasan konsumsi, kebiasaan pangan, dan kembali ke tanaman-tanaman," ujarnya.
"Kita juga pikirkan ke depan untuk mengolah apa yang ada di tanah kita supaya kita tidak kekurangan makanan."
Baca juga: Pertama dalam 60 Tahun, Dusun Saluseba di Luwu Utara Mandiri Pangan
Agus Sumule, dosen Fakultas Pertanian Universitas Papua di Manokwari mengatakan, sebanyak 51% warga di Papua dan 75% di Papua Barat menggantungkan hidup pada bahan pangan yang datang dari luar tanah Papua, khususnya beras.
Jika ada gangguan logistik pangan akibat pandemi, menurut perhitungan Agus Sumule, sekitar 2,4 juta masyarakat di kedua provinsi itu "terancam kelaparan".
Baca juga: Percepat Penyaluran, 9 Daerah Tanda Tangani MoU Bantuan Pangan JPS dengan Pemprov Jatim
Maka, ujar Agus, menanam adalah salah satu cara mengantisipasi kelaparan dan kesulitan pangan.
"Saya katakan, jangan tunda, harus segera menanam," ujarnya.
"Di lingkup nasional, kita dianggap bukan daerah yang punya ketahanan yang baik karena ketergantungan makanan dari luar. Maka dalam pandemi ini, kondisi ketahanan pangan sangat rawan," ujar Agus.
Baca juga: Kapal Yacht Dibegal di Perairan Lampung, Pemilik Kelaparan dan Uang 700 Dollar Raib
Di akhir April, defisit beras di tujuh wilayah, sempat diumumkan oleh Presiden Joko Widodo.
Salah satu wilayah itu adalah Papua Barat, sebagaimana diumumkan oleh Bulog kemudian, meski di pertengahan Mei, pemerintah mengklaim telah memenuhi stok beras di daerah itu.
Sebelumnya, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso mengatakan pihakya akan menyiapkan sagu, jika terjadi kekurangan beras di Indonesia bagian timur.
Baca juga: Saya Memilih Berhadapan dengan Virus Ini, daripada Masyarakat Mati Kelaparan
Saat itu, kata Agus, beras dijual sangat murah hingga pernah mencapai Rp1.500 per kilogram, hingga membuat warga merasa tak perlu menanam bahan pangan.
"Bagaimana mau rangsang warga terus tanam? Kalau beras begitu murahnya apa gunanya dia menanam lagi? Itu masalahnya," ujar Agus.
Baca juga: Kami Ingin Pulang, Kami Tidak Ingin Kelaparan di Sini
"Kita mesti tinjau kebijakan yang keliatannya populis, tetapi sebenarnya mematikan produktivitas masyarakat."
Padahal, menanam tanaman lokal sebetulnya lebih sederhana dan tidak membutuhkan area yang terlalu luas, ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Papua Barat, Yacob Fonataba.
"Padi itu kan agak spesifik, harus bentuk pematang, butuh air irigasi, pengaturan pupuk, pengendalian organisme pengganggu tanaman," ujar Yacob.
"Tapi kalau pangan lokal, luas tanah yang tersedia di Papua Barat sangat luas."
Baca juga: Aksi Tukang Becak yang Curi Beras 5 Kg karena Keluarga Kelaparan Sempat Terekam CCTV
Ia mengatakan di banyak tempat di Papua, nasi dianggap makanan yang lebih spesial dibandingkan makanan lokal lain.
"Anak-anak yang makan nasi dianggap attitude-nya (perilakunya) lebih baik," ujar Charles.
Hak atas foto Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Papua Barat
Padahal, pangan lokal, seperti papeda, kata Charles, terbukti sangat menyehatkan.
Baca juga: Jamin Ketersediaan Pangan, Pemkot Madiun Siapkan 40.000 Paket Bantuan Sembako
Momentum berkebun massal ini lah yang akan dimanfaatkan sejumlah warga untuk membiasakan generasi muda memakan makanan lokal, seperti yang dikatakan Andreas Deda, warga Amban, Manokwari Barat.
Ia menyebut anak-anak sekarang 'generasi nasi' yang mengatakan 'belum makan kalau belum makan nasi'.
"Kami menanan sambil konsumsi dan sebaliknya untuk menjelaskan umbi sebagai makanan asli yang mengandung karbohidrat sama dengan nasi," ujar Andreas menirukan apa yang diajarkannya pada putrinya yang berusia 11 tahun.
Meski begitu, Agus Sumule menekankan, yang penting bukanlah makanan lokal atau tidak lokal, tapi kemampuan warga menyediakan bahan pangan mereka sendiri.
"Yang penting beras tidak dibuat terlalu murah sehingga yang lain-lain tak lagi ditanam. Itu artinya dia mematikan potensi lokal. Kalau beras harga normal, orang punya pilihan," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.