Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Warga di Papua Berkebun Massal Saat Pendemi, Rawan Kelaparan dan Cegah Kesulitan Pangan

Kompas.com - 28/05/2020, 08:15 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Lebih dari dua juta warga Papua dan Papua Barat terancam kelaparan jika pengiriman logistik dari luar daerah, khususnya beras, terganggu pada masa pandemi Covid-19, ujar seorang peneliti pertanian dari Universitas Papua.

Untuk mencegah hal itu, sejumlah warga melakukan kegiatan berkebun massal untuk mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri.

Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat masing-masing mengatakan hingga kini stok pangan masih aman.

Baca juga: Update Covid-19 Papua: Total 652 Kasus Positif, 800 Sampel Antre Diperiksa di Lab

Namun, warga disarankan untuk memanfaatkan pekarangan untuk berkebun demi ketahanan pangan di masa pandemi.

"Saya minta kabupaten dan kota untuk sosialisasi, manfaatkan pekarangan terutama yang di desa-desa," ujar Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua, Semuel Siriwa.

Baca juga: Kasus Positif Corona di Papua Jadi 640, Ada 34 Tenaga Kesehatan Ikut Terpapar

Gotong royong siapkan kebun

Sejumlah warga membabat rumput untuk menyiapkan kebun di Distrik Wouma, Kabupaten Jayawijaya, Papua.Raimondus Monte Sejumlah warga membabat rumput untuk menyiapkan kebun di Distrik Wouma, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Suatu sore yang sejuk di daerah pegunungan Distrik Wouma, Kabupaten Jayawijaya, Papua, suara bising alat pemotong rumput beradu dengan suara golok yang diayunkan puluhan pemuda pada rumput-rumput setinggi lutut orang dewasa.

Rumput-rumput kering berwarna kecoklatan bertumpukan di lahan itu, tapi para pemuda itu belum berhenti bekerja.

Sudah beberapa minggu belakangan, warga Distrik Wouma, Jayawijaya, sibuk menyiapkan kebun untuk ditanami bahan pangan.

Baca juga: Mimika, Kabupaten di Papua dengan Jumlah Kesembuhan Covid-19 Tertinggi

Mereka berencana menanam tanaman pangan khas Papua, yakni petatas (ubi), keladi (bete), singkong, serta sayuran.

"Sebelumnya, banyak yang main togel, judi, di pasar. Sekarang setelah pandemi harus berkebun untuk mencegah rawan pangan dan kelaparan," ujar Raimondus Mote, 38, warga distrik Wouma yang ikut berkebun.

Raimondus, mahasiswa pascasarjana di Universitas Cenderawasih, Papua, itu mengatakan kerja dilakukan oleh lebih dari 40 pemuda sejak pukul 05.00 pagi hingga 17.00 sore.

Pekerjaan minggu pertama adalah membabat rumput dan membuat pagar kebun di lahan tidur.

Baca juga: Tradisi Lebaran khas Indonesia, Kenduri Kuburan di Aceh hingga Tradisi Hadrat di Papua

Warga bekerja dari pukul 05.00 hingga 17.00 waktu setempat. Raimondus Mote Warga bekerja dari pukul 05.00 hingga 17.00 waktu setempat.
Pada pekan-pekan berikutnya, pekerjaan akan dilanjutkan dengan membakar rumput, mencangkul, dan menanam benih.

Kegiatan berkebun massal itu sebelumnya sudah diarahkan oleh kepala distrik.

Namun, kata Raimondus, warga tidak bekerja karena terpaksa.

"Ini dengan sukarela dan kesadaran penuh untuk kerja. Tak ada paksaan. Antusiasime warga cukup tinggi, luar biasa," ujarnya.

Baca juga: 526 Kasus Baru Covid-19 di 26 Provinsi, Jakarta, Jatim, dan Papua Tertinggi

Gerakan berkebun massal juga dilakukan di Timika, Papua, ujar seorang warga Selianus Natkime.

Di lahan di mana mereka harus menebang pohon demi membuka lahan berkebun, ia mengatakan kegiatan itu dilakukan sesuai kearifan lokal.

"Pohon-pohon yang besar tidak usah di tebang, tetapi pohon yang kecil di bawah pohon besar itu yang ditebang supaya hutan terlindung," kata Selianus.

Baca juga: Antar Obat, Tenaga Medis Covid-19 Tewas Ditembak KKB di Papua

Tradisi orang tua

Gerakan berkebun juga dilakukan di Timika, Papua. Dok. Selianus Natkime Gerakan berkebun juga dilakukan di Timika, Papua.
Di daerah perkotaan, Jayapura, gerakan serupa tengah berjalan di rumah-rumah warga. Salah satunya, di pekarangan Maria Ojaba, 42.

Sebelum pandemi Covid-19, hari-hari Maria biasanya disibukkan oleh bisnisnya menyewakan peralatan untuk pesta, seperti kursi juga tenda.

Namun, tiga bulan belakangan ini, setelah pemerintah menetapkan aturan pembatasan sosial, otomatis usahanya tak beroperasi.

Baca juga: Warga Tergeletak dengan Luka Tembak di Jalan Tambang Area PT Freeport Papua

Tanpa kesibukan seperti biasa, Maria menyibukkan diri di pekarangan rumahnya untuk berkebun, tradisi yang disebutnya diajarkannya oleh orang tuanya.

Baginya berkebun membantunya menghemat di tengah masa sulit tanpa pemasukan.

"Ada sayur, uang bisa kami belanjakan yang lain," ujarnya.

Meski keadaannya sulit, Maria mengatakan ia mencoba mengambil hikmah dari pandemi ini.

Baca juga: Penyerangan Pos Polisi Paniai, Kapolda Papua Sebut karena Kelalaian Anggota

Maria Ojaba dan anak-anaknya mulai berkebun di halaman rumah saat pandemi. Maria Ojaba Maria Ojaba dan anak-anaknya mulai berkebun di halaman rumah saat pandemi.
"Virus corona ini berbahaya tapi ada sisi positifnya... Jadi ada waktu bercocok tanam kembali. Dengan ada begini, kita sama-sama melihat ke belakang, ke kebiasaan orang tua dulu."

"Saya belajar dari mereka. Karena keadaan sekarang, saya termotivasi, 'harus tanam, harus tanam'," ujarnya.

Sejumlah kelompok masyarakat, seperti Papua Chef Jungle di Papua serta Bentara Papua yang bermarkas di Manokwari, Papua Barat, juga melakukan pembagian bibit pada masyarakat untuk memotivasi mereka berkebun.

Baca juga: Kapolda Papua: Hubungan Pelaku Penyerangan dan Polisi di Pos Baik-baik Saja

Charles Toto, pegiat pangan lokal Papua mengatakan, mengatakan pandemi ini bisa menjadi momentum bagi warga untuk kembali pada tradisi berkebun.

"Sudah saatnya kita kembali ke kebiasan nenek moyang kita; kebiasan konsumsi, kebiasaan pangan, dan kembali ke tanaman-tanaman," ujarnya.

"Kita juga pikirkan ke depan untuk mengolah apa yang ada di tanah kita supaya kita tidak kekurangan makanan."

Baca juga: Pertama dalam 60 Tahun, Dusun Saluseba di Luwu Utara Mandiri Pangan

Ketergantungan pada beras

Charles Toto, pegiat pangan lokal Papua mengatakan, mengatakan pandemi ini bisa menjadi momentum bagi warga untuk kembali pada kebiasaan khas nenek moyang, yakni berkebun. Charles Toto Charles Toto, pegiat pangan lokal Papua mengatakan, mengatakan pandemi ini bisa menjadi momentum bagi warga untuk kembali pada kebiasaan khas nenek moyang, yakni berkebun.
Papua dan Papua Barat adalah dua provinsi dengan indeks ketahanan pangan paling buruk di Indonesia, menurut data kementerian pertanian tahun 2019.

Agus Sumule, dosen Fakultas Pertanian Universitas Papua di Manokwari mengatakan, sebanyak 51% warga di Papua dan 75% di Papua Barat menggantungkan hidup pada bahan pangan yang datang dari luar tanah Papua, khususnya beras.

Jika ada gangguan logistik pangan akibat pandemi, menurut perhitungan Agus Sumule, sekitar 2,4 juta masyarakat di kedua provinsi itu "terancam kelaparan".

Baca juga: Percepat Penyaluran, 9 Daerah Tanda Tangani MoU Bantuan Pangan JPS dengan Pemprov Jatim

Maka, ujar Agus, menanam adalah salah satu cara mengantisipasi kelaparan dan kesulitan pangan.

"Saya katakan, jangan tunda, harus segera menanam," ujarnya.

"Di lingkup nasional, kita dianggap bukan daerah yang punya ketahanan yang baik karena ketergantungan makanan dari luar. Maka dalam pandemi ini, kondisi ketahanan pangan sangat rawan," ujar Agus.

Baca juga: Kapal Yacht Dibegal di Perairan Lampung, Pemilik Kelaparan dan Uang 700 Dollar Raib

Di akhir April, defisit beras di tujuh wilayah, sempat diumumkan oleh Presiden Joko Widodo.

Salah satu wilayah itu adalah Papua Barat, sebagaimana diumumkan oleh Bulog kemudian, meski di pertengahan Mei, pemerintah mengklaim telah memenuhi stok beras di daerah itu.

Sebelumnya, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso mengatakan pihakya akan menyiapkan sagu, jika terjadi kekurangan beras di Indonesia bagian timur.

Baca juga: Saya Memilih Berhadapan dengan Virus Ini, daripada Masyarakat Mati Kelaparan

'Gara-gara raskin'

Sejumlah warga antre untuk mendapatkan bantuan sembako dari Pemprov Papua di Panti Jompo Pos Tujuh, Sentani, Jayapura, Papua, (02/05). ANTARA FOTO Sejumlah warga antre untuk mendapatkan bantuan sembako dari Pemprov Papua di Panti Jompo Pos Tujuh, Sentani, Jayapura, Papua, (02/05).
Ketergantungan masyarakat di tanah Papua terhadap beras terjadi sejak kepempimpinan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang memperkenalkan program raskin, ujar Agus Sumule.

Saat itu, kata Agus, beras dijual sangat murah hingga pernah mencapai Rp1.500 per kilogram, hingga membuat warga merasa tak perlu menanam bahan pangan.

"Bagaimana mau rangsang warga terus tanam? Kalau beras begitu murahnya apa gunanya dia menanam lagi? Itu masalahnya," ujar Agus.

Baca juga: Kami Ingin Pulang, Kami Tidak Ingin Kelaparan di Sini

"Kita mesti tinjau kebijakan yang keliatannya populis, tetapi sebenarnya mematikan produktivitas masyarakat."

Padahal, menanam tanaman lokal sebetulnya lebih sederhana dan tidak membutuhkan area yang terlalu luas, ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Papua Barat, Yacob Fonataba.

"Padi itu kan agak spesifik, harus bentuk pematang, butuh air irigasi, pengaturan pupuk, pengendalian organisme pengganggu tanaman," ujar Yacob.

"Tapi kalau pangan lokal, luas tanah yang tersedia di Papua Barat sangat luas."

Baca juga: Aksi Tukang Becak yang Curi Beras 5 Kg karena Keluarga Kelaparan Sempat Terekam CCTV

'Generasi nasi'

Menurut Agus Sumule, ketergantungan warga Papua dan Papua Barat akan beras dimulai sejak masa pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan program Raskin yang diperkenalkannya. Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Papua Barat Menurut Agus Sumule, ketergantungan warga Papua dan Papua Barat akan beras dimulai sejak masa pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan program Raskin yang diperkenalkannya.
Ketergantungan pada beras, ujar Charles Toto dari Papua Jungle Chef, juga mengubah pola pikir masyarakat.

Ia mengatakan di banyak tempat di Papua, nasi dianggap makanan yang lebih spesial dibandingkan makanan lokal lain.

"Anak-anak yang makan nasi dianggap attitude-nya (perilakunya) lebih baik," ujar Charles.
Hak atas foto Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Papua Barat

Padahal, pangan lokal, seperti papeda, kata Charles, terbukti sangat menyehatkan.

Baca juga: Jamin Ketersediaan Pangan, Pemkot Madiun Siapkan 40.000 Paket Bantuan Sembako

Momentum berkebun massal ini lah yang akan dimanfaatkan sejumlah warga untuk membiasakan generasi muda memakan makanan lokal, seperti yang dikatakan Andreas Deda, warga Amban, Manokwari Barat.

Ia menyebut anak-anak sekarang 'generasi nasi' yang mengatakan 'belum makan kalau belum makan nasi'.

"Kami menanan sambil konsumsi dan sebaliknya untuk menjelaskan umbi sebagai makanan asli yang mengandung karbohidrat sama dengan nasi," ujar Andreas menirukan apa yang diajarkannya pada putrinya yang berusia 11 tahun.

Meski begitu, Agus Sumule menekankan, yang penting bukanlah makanan lokal atau tidak lokal, tapi kemampuan warga menyediakan bahan pangan mereka sendiri.

"Yang penting beras tidak dibuat terlalu murah sehingga yang lain-lain tak lagi ditanam. Itu artinya dia mematikan potensi lokal. Kalau beras harga normal, orang punya pilihan," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com