Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Warga di Papua Berkebun Massal Saat Pendemi, Rawan Kelaparan dan Cegah Kesulitan Pangan

Kompas.com - 28/05/2020, 08:15 WIB
Rachmawati

Editor

Sebelumnya, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso mengatakan pihakya akan menyiapkan sagu, jika terjadi kekurangan beras di Indonesia bagian timur.

Baca juga: Saya Memilih Berhadapan dengan Virus Ini, daripada Masyarakat Mati Kelaparan

'Gara-gara raskin'

Ketergantungan masyarakat di tanah Papua terhadap beras terjadi sejak kepempimpinan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang memperkenalkan program raskin, ujar Agus Sumule.

Saat itu, kata Agus, beras dijual sangat murah hingga pernah mencapai Rp1.500 per kilogram, hingga membuat warga merasa tak perlu menanam bahan pangan.

"Bagaimana mau rangsang warga terus tanam? Kalau beras begitu murahnya apa gunanya dia menanam lagi? Itu masalahnya," ujar Agus.

Baca juga: Kami Ingin Pulang, Kami Tidak Ingin Kelaparan di Sini

"Kita mesti tinjau kebijakan yang keliatannya populis, tetapi sebenarnya mematikan produktivitas masyarakat."

Padahal, menanam tanaman lokal sebetulnya lebih sederhana dan tidak membutuhkan area yang terlalu luas, ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Papua Barat, Yacob Fonataba.

"Padi itu kan agak spesifik, harus bentuk pematang, butuh air irigasi, pengaturan pupuk, pengendalian organisme pengganggu tanaman," ujar Yacob.

"Tapi kalau pangan lokal, luas tanah yang tersedia di Papua Barat sangat luas."

Baca juga: Aksi Tukang Becak yang Curi Beras 5 Kg karena Keluarga Kelaparan Sempat Terekam CCTV

'Generasi nasi'

Menurut Agus Sumule, ketergantungan warga Papua dan Papua Barat akan beras dimulai sejak masa pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan program Raskin yang diperkenalkannya. Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Papua Barat Menurut Agus Sumule, ketergantungan warga Papua dan Papua Barat akan beras dimulai sejak masa pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan program Raskin yang diperkenalkannya.
Ketergantungan pada beras, ujar Charles Toto dari Papua Jungle Chef, juga mengubah pola pikir masyarakat.

Ia mengatakan di banyak tempat di Papua, nasi dianggap makanan yang lebih spesial dibandingkan makanan lokal lain.

"Anak-anak yang makan nasi dianggap attitude-nya (perilakunya) lebih baik," ujar Charles.
Hak atas foto Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Papua Barat

Padahal, pangan lokal, seperti papeda, kata Charles, terbukti sangat menyehatkan.

Baca juga: Jamin Ketersediaan Pangan, Pemkot Madiun Siapkan 40.000 Paket Bantuan Sembako

Momentum berkebun massal ini lah yang akan dimanfaatkan sejumlah warga untuk membiasakan generasi muda memakan makanan lokal, seperti yang dikatakan Andreas Deda, warga Amban, Manokwari Barat.

Ia menyebut anak-anak sekarang 'generasi nasi' yang mengatakan 'belum makan kalau belum makan nasi'.

"Kami menanan sambil konsumsi dan sebaliknya untuk menjelaskan umbi sebagai makanan asli yang mengandung karbohidrat sama dengan nasi," ujar Andreas menirukan apa yang diajarkannya pada putrinya yang berusia 11 tahun.

Meski begitu, Agus Sumule menekankan, yang penting bukanlah makanan lokal atau tidak lokal, tapi kemampuan warga menyediakan bahan pangan mereka sendiri.

"Yang penting beras tidak dibuat terlalu murah sehingga yang lain-lain tak lagi ditanam. Itu artinya dia mematikan potensi lokal. Kalau beras harga normal, orang punya pilihan," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com