MEDAN, KOMPAS.com - Regina Septiarini Safri mahasiswi S2 Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia sudah 3 bulan tinggal di Medan, Sumatera Utara.
Regina atau yang disapa Rere awalnya ke Medan dalam rangka mencari data untuk melengkapi tesisnya.
Namun, semenjak virus corona menyebar di Indonesia, Rere tak bisa pulang ke Jakarta.
Kepada Kompas.com, Rere mengatakan bahwa tesisnya mengambil studi kasus tentang orangutan Hope di Subussalam, Aceh, yang mengalami luka tembak dengan 74 peluru di tubuhnya.
"Belum penelitian, tapi masih proses untuk data awal. Itu untuk dimasukin ke bab 1. Aku mengejar agar awal semester depan bisa seminar proposal tesis, kan harus 3 bab kelar," ujar Rere yang juga dikenal sebagai penulis buku Bofore Too Late - Sumatra Forest Expedition, saat ditemui Sabtu (23/5/2020).
Baca juga: Berkat Jejak Kaki, Pria yang Hilang 5 Hari di Hutan Berhasil Ditemukan
Tesis yang dibuat Rere seputar konflik satwa, khususnya orangutan dengan masyarakat.
Rere kemudian mencari data di lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Orangutan Information Centre (OIC) dan juga Sumatera Orangutan Conservation Programme (SOCP) di Medan.
Diberitahu orangtua soal Covid-19
Rere baru selesai mewawancarai Panut Hadisiswoyo dari Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL) - OIC.
Saat itu, orangtuanya yang tinggal di Jawa Tengah memberitahunya bahwa sudah ada pemberitaan tentang 2 pasien Covid-19 pertama di Indonesia.
Ketika itu, Rere masih menumpang di rumah temannya bernama Hendra (Broetal), karena rencana awalnya hanya tinggal 2-3 hari di Medan.
"Terus Mamaku bilang ada yang positif, nanti saja deh ke Jakarta. Tapi waktu itu tak kebayang bakal nambah lagi seperti sekarang, hingga akhirnya ada kebijakan work from home (WFH). Akhirnya pekerjaan sehari-hari, kuliah online, maka ku putuskan untuk memperpanjang tinggal di Medan," kata Rere.
Baca juga: Kapal Yacht dari Australia Dibegal di Perairan Lampung
Orangtua Rere khawatir apabila dia kembali ke Jakarta, karena lebih besar potensi tertular virus corona.
Ditambah lagi dengan keluarnya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Rere akhirnya memilih untuk mengikuti instruksi pemerintah untuk tidak bepergian ke daerah lain.
"Aku juga menjaga orangtua yang usianya di atas 60 tahun. Orangtua kan lebih rentan. Aku merasa bertanggung jawab atas kesehatan orang di sekelilingku. Termasuk teman dan keluarga. Stay di Medan itu mungkin lebih baik," ujar dia.
Selama 3 bulan, Rere harus tinggal di kos dan menjalankan aktivitas sendiri.
Puasa dan Lebaran juga dijalani sendiri.
Sebenarnya, mumpung masih di Medan, Rere ingin bergerak mencari data lebih banyak.
Tapi di Medan pun dia tidak bisa jalan-jalan sesuka hati, karena kantor LSM juga menerapkan WFH.
"Mau ke Subussalam tak bisa juga, karena masuk ke Aceh kan pemeriksaan juga dobel-dobel," kata Rere.
Sedangkan untuk kuliah reguler secara online, menurut Rere, sejauh ini masih cukup efektif.
Beradaptasi dengan lingkungan
Selama tinggal di Medan, Rere merasa tak begitu sulit beradaptasi dan menikmati segala keterbatasan di lingkungan yang baru.
Mulai dari makanan, pakaian hingga aktivitas belajar dibuat sederhana dan menyenangkan.
"Apa yang ada dipakai, sistemnya cuci pakai. Makanan, aku pilih masak sendiri. Aku tak mau stres atau sedih. Aku berusaha enjoy, kalau stres dan sedih takutnya berpengaruh pada imunku," kata Rere.
Begitu juga dengan buku-buku yang lebih banyak di Jakarta. Sebagai pengganti, dia mencari banyak bahan bacaan di internet.
Menurut Rere, orangtuanya sudah terbiasa ditinggal pergi dalam jangka waktu yang lama.
Hal itu pernah terjadi saat Rere mengerjakan buku tentang ekspedisi hutan Sumatera.
Saat itu, dia harus berminggu-minggu di dalam hutan dengan akses komunikasi yang terbatas.
"Aku berusaha menunjukkan ke orangtua bahwa I'm ok. Kalau mikir aduh Ma gimana ni puasa, Lebaran sebatang kara, pasti ortu juga akan kepikiran dan itu pengaruh ke imun. Makanya aku selalu menikmati segala keterbatasan dengan happy. Telepon, video call dengan ortu yang happy lah," kata Rere.
Pengalaman unik pun terjadi di sela waktu beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Rere mengatakan, dia sebenarnya sudah terbiasa dengan suara keras dan kencang khas orang Sumatera, karena kedua orangtuanya dari Padang, Sumatera Barat.
Namun dia memiliki pengalaman yang lucu ketika belanja di pasar. Celetukan orang di Medan sangat berbeda dengan di pasar di Jawa.
"Aku tanya, boleh enggak beli petai Rp 3.000? Mereka bilangnya, 'Enggak kau bawa otakmu Dek?' Aku wuih, gila. Kalau orang tidak tahu, beda ceritanya. Tapi mereka sampaikan itu pakai senyum, bercanda," kata Rere.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.