Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Tidak Pulang Saat Lebaran: Bu, Aku Kangen sama Ibu

Kompas.com - 23/05/2020, 06:01 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Larangan mudik membuat Lebaran tahun ini suram bagi banyak orang, termasuk bagi para pekerja di kota-kota besar yang meninggalkan keluarga intinya di kampung halaman.

Silaturahim virtual tidak bisa menggantikan silaturahim tatap muka bagi banyak orang, terutama mereka yang tidak punya kemewahan kuota internet dan sinyal yang stabil.

Ratih, misalnya. Pekerja pabrik sepatu di Tangerang itu terpaksa tidak bertemu anak semata wayangnya, Fahmi, yang berusia 11 tahun di Lampung. Padahal, Ratih terakhir kali bertemu Fahmi pada Idul Fitri tahun lalu.

Baca juga: Sederet Cerita Jenazah Pasien Corona Nekat Dibawa Pulang hingga Dimandikan, Ada yang Menginfeksi 15 Warga

"(Larangan mudik) mempersulit banget karena kita punya anak di kampung. Kalau telepon kan beda, ya penginnya ketemu," kata Ratih saat ditemui BBC Indonesia, 14 Mei 2020 lalu.

Karena ada larangan mudik dan Lebaran di tengah pandemi, silaturahim virtual jadi solusi.

"Seandainya boleh langsung pulang, langsung pulang saya. Cuma pulang sama saja, di sana enggak bisa ketemu, cutinya sedikit, karantinanya lama, jadi sama saja."

Jika ia bisa bertemu Fahmi, Ratih hanya ingin melakukan satu hal.

"Kalau ketemu, (Fahmi) dipelukin sama saya, diciumin, Lebaran ini enggak ada," ujar Ratih sembari menyeka air mata.

Baca juga: Kisah Korban PHK yang Nekat Mudik Jalan Kaki dari Jakarta ke Solo, Tetap Berpuasa, Kulit Gosong Tersengat Matahari

Ratih dan seragam yang rencananya dipakai bersama keluarganya saat Lebaran. Haryo Wirawan/BBC News Ratih dan seragam yang rencananya dipakai bersama keluarganya saat Lebaran.
BBC Indonesia menemui Ratih di rumah kontrakannya, di sebuah kampung yang tengah dikarantina lokal di pinggiran Kota Tangerang.

Di ruang tamunya ada beberapa foto ia bersama Fahmi dan kerabatnya saat menghadiri sebuah pernikahan tahun lalu.

Di kamar tidurnya, Ratih menunjukkan salah satu foto Fahmi ketika ia lulus TK--Fahmi mengenakan kain putih yang biasa dipakai jemaah haji dengan latar belakang Ka'bah. Di foto lainnya, Fahmi mengenakan topi toga. Fahmi sangat mirip dengan ibunya.

Ratih terbilang masih beruntung karena ia masih kerja di pabrik. Minggu itu, Ratih mendapat giliran kerja malam, dari pukul 21.00 sampai 06.00 WIB.

Baca juga: Nekat Mudik, Desa di Boyolali Siapkan Rumah Karantina di Depan Makam

Sebelum bertemu kami, Ratih menyempatkan ke ATM terdekat untuk transfer uang untuk keperluan anaknya.

"Apa yang dia mau, saya berusaha (memenuhinya), 'Ya kalau ada (uang), nanti ibu belikan,'" ujar Ratih.

Fahmi mengatakan, uang yang dikirim ibunya akan dipakai untuk membeli baju Lebaran dan keperluan sekolah.

Lebaran tahun ini "beda banget, apalagi kalau malam takbiran terasa sedihnya itu, (saya) nangis pasti, karena saya enggak pernah Lebaran di sini, selalu pulang dari dulu," kata Ratih.

Baca juga: 95 Travel Gelap Terjaring Razia, 719 Orang Gagal Mudik

"(Tahun ini) enggak ada semangatnya, biasanya kan kalau Lebaran, jelang libur sudah semangat. Tapi (tahun ini saya) di sini sendirian. (Lebaran) ya mungkin video call, maaf-maafan lewat HP, begitu saja."

Bayu Yulianto, sosiolog dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa makna silaturahim saat Lebaran tidak bisa tergantikan oleh silaturahim online mengingat potensi adanya keterbatasan kuota atau teknologi di kampung halaman.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com