Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lebaran Prihatin di Tengah Pandemi Covid-19...

Kompas.com - 21/05/2020, 09:29 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Lebaran identik dengan kumpul bersama keluarga, makan ketupat, dan mengenakan baju baru. Namun dampak ekonomi wabah virus corona membuat sebagian orang tak bisa melakukan berbagai tradisi perayaan yang menjadikan lebaran hari yang istimewa.

Menurut survei pemerintah, lebih dari dua juta pekerja dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pandemi. Sebanyak 40% usaha mandiri terhenti, dan 52% mengalami penurunan kegiatan produksi.

Kehilangan pekerjaan atau pemasukan membuat acara makan-makan dan baju lebaran jadi kemewahan yang tidak mampu dibeli. Belum lagi, larangan mudik berarti banyak orang yang terpisah dari keluarga mereka pada hari raya.

BBC News Indonesia merangkum cerita dari tiga orang tentang bagaimana mereka menghadapi Lebaran yang sangat lain dari biasanya ini.

Baca juga: Saat Belanja Lebaran Kalahkan Ketakutan pada Virus Corona...

'Saya sudah tidak memikirkan lebaran'

Somadi (kanan) masih bisa bekerja sebagai sopir angkot, namun pendapatannya jauh berkurang. Somadi Somadi (kanan) masih bisa bekerja sebagai sopir angkot, namun pendapatannya jauh berkurang.
Merayakan Lebaran dengan meriah menjadi hal terakhir di pikiran Somadi, 60 tahun, sejak keuangan keluarganya terpukul oleh wabah virus corona. Sekarang, yang dipikirkan warga Kota Bandung itu hanyalah kesehatan istri dan empat anaknya.

"Saya sudah tidak memikirkan Lebaran. Yang saya pikirkan itu kehidupan keluarga sama kesehatan. Itu saja," ujarnya.

Bekerja sebagai sopir angkot rute Kalapa-Dago, bukan berarti pemasukannya nol sama sekali. Ia masih bisa narik, katanya, tapi penumpangnya tidak ada. Sejak Kota Bandung menerapkan PSBB pada tanggal 22 April, kapasitas angkutan umum dibatasi hanya 50 persen.

Baca juga: Cerita Toko di Jember Gratiskan Baju Bagi Warga Miskin Jelang Lebaran

Somadi menjelaskan, sebelum wabah corona, pendapatan bersihnya dari mengemudi angkot bisa mencapai Rp 90.000 per hari. Kini ia hanya membawa pulang Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per hari, dan terkadang harus menombok. Uang sebanyak itu hanya cukup untuk belanja kebutuhan makan sehari-hari.

Istrinya, yang bekerja sebagai pengurus rumah di sebuah tempat kos di Bandung, juga kehilangan pendapatan sejak para penghuni kosnya pergi. Anak sulungnya, pengemudi ojek online, praktis menganggur karena tidak ada muatan.

Di hari Lebaran, hidangan ketupat dan opor yang biasanya hadir di meja makan mungkin tidak akan ada. Begitu pula baju baru untuk anak-anaknya.

Baca juga: Gadis Yatim Piatu yang Tewas Dibunuh Akan Menikah Setelah Lebaran

"Soalnya kita tahu keadaan kita sekarang kan dalam keadaan begini, susah. Jadi belum kepikiran untuk wah-wahan di lebaran," kata Somadi.

Meski begitu, Somadi masih berniat untuk membayar zakat fitrah, hal yang ia lakukan setiap tahun. Zakat fitrah, yaitu sedekah yang dibagikan kepada kelompok miskin dan membutuhkan pada hari raya Idul Fitri, merupakan kewajiban bagi umat Islam.

Somadi mengaku tahun ini ia kesulitan mengumpulkan uang untuk membayar zakat, namun ia khawatir tidak mendapatkan pahala.

Baca juga: Pemerintah Waspadai Ancaman Penularan Covid-19 akibat Arus Balik Lebaran

"Menurut saya, zakat itu wajib jadi dari sekarang kita usahakan, saya kumpul-kumpulin untuk bisa bayar zakat. Tapi kalau memang enggak bisa ya apa boleh buat.

"Kalau enggak sanggup terus enggak jadi masalah pahalanya, kewajiban itu, saya mungkin memilih jadi mustahik (penerima zakat)," tuturnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com