Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi: Aturan Penanganan Covid-19 Jangan Setengah-setengah

Kompas.com - 07/05/2020, 03:30 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Anggota DPR RI Dedi Mulyadi mengaku bingung dengan perbedaan aturan antara pusat dan daerah.

Di satu sisi, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan melonggarkan transportasi. Namun di sisi lain, sejumlah daerah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang salah satunya menutup akses tansportasi. Kedua aturan tersebut bertolak belakang.

Menurut Dedi, semestinya, aturan pusat dan daerah selaras dan terintegrasi. Ketika aturan pusat ketat, maka di daerah pun harus ketat, dan sebaliknya.

"Tapi saat ini malah aturan dari pusat longgar, sementara daerah ketat. Itu tidak bisa. Kalau aturan pusat ketat, maka daerah pun ketat. Tapi kalau longgar, ya daerah pun harus longgar," kata Dedi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (6/5/2020).

Baca juga: Ini Kriteria Warga yang Dapat Kelonggaran Gunakan Moda Transportasi

Sebab, kata Dedi, sebuah aturan berlaku di lokasi yang sama. Baik pusat maupun daerah, keduanya berada di tempat yang sama, yakni Indonesia.

Maka, aturan pun harus sama. Apalagi ini berkaitan dengan upaya pemutusan mata rantai pandemi. Aturan pusat maupun daerah harus sama sehingga penanggulangan wabah corona bisa berhasil.

"Tapi kalau terjadi perbedaan aturan, maka penanggulangan corona akan susah," katanya.

Menurutnya, pemberlakuan aturan untuk penanganan corona harus benar-benar serius. Tidak bisa setengah-setengah. Sebab, dampak yang dihasilkan akibat corona itu sangat besar, terutama terhadap ekonomi masyarakat.

"Saat ini ekonomi masyarakat terpuruk karena mengikuti aturan pemerintah terkait PSBB. Kalau aturan setengah-setengah, maka upaya masyarakat menjadi sia-sia. Sudah penanangannya biasa saja, ekonomi sudah kadung terpuruk lagi," katanya.

Dengan situasi seperti ini, maka pemerintah punya dua pilihan. Melonggarkan atau memperketat aturan dari pusat hingga daerah.

Jika aturan soal transportasi longgar, maka pemberlakuan PSBB di daerah pun jangan terlalu lama. Intinya jangan ada lagi PSBB. Situasi "dinormalkan" saja.

Masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa namun tetap mengikuti protokol pencegahan Covid-19, yakni jaga jarak fisik dan sosial, pakai masker, rutin mencuci tangan dan lainnya.

"Lalu risikonya ditanggung bersama. Jangan ada saling menyalahkan," kata Dedi.

Namun sebaliknya, jika memang aturan pencegahan ketat, maka transportasi harus ditutup total, baik pusat maupun daerah.

Aturan PSBB di daerah juga diperketat, sehingga penanangan wabah corona bisa berhasil.

Namun saat ini, kata Dedi, masyarakat sudah tampak tak memedulikan lagi tentang corona. Betapa pun ada aturan PSBB, namun pasar-pasar dan jalan-jalan masih ramai orang.

"Masyarakat sekarang sudah tak peduli corona. Mungkin karena terlalu lama. Mereka saat ini fokus pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Menunggu bantuan yang tak kunjung sampai," kata mantan bupati Purwakarta itu.

Menurutnya, penanganan Covid-19 ini ibarat mengobati penyakit jantung. Aturan lockdown itu sama dengan operasi bypass.

Lalu PSBB ibarat pemasangan ring jantung. Jadi kalau keduanya menyiksa, maka pilihan terakhir adalah diet makan dan banyak olahraga.

Baca juga: Besok Moda Transportasi Mulai Beroperasi untuk Pejabat, Ini Tanggapan Warga

Begitu pun penanganan corona. Jika lockdown dan karantina daerah menyiksa, maka pilihan terakhir adalah ambil posisi diet makan.

"Sekarang ambil posisi diet, cuci tangan, jaga jarak, konsumsi makanan yang hangat agar kebugaran tubuh meningkat. Itu saja pilihannya," kata wakil ketua Komisi IV ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com