Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Pemudik Menelusuri Jalur Tikus Mudik dari Jakarta ke Jawa Tengah: Seperti Negeri Antah-berantah

Kompas.com - 01/05/2020, 16:06 WIB
Rachmawati

Editor

Diskresi di tengah larangan mudik

Pemerintah mengeluarkan keputusan larangan mudik yang berlaku dari 24 April hingga 31 Mei mendatang.

Artinya, segala moda transportasi pribadi dan umum, baik darat, laut, maupun udara, dilarang beroperasi untuk mengantarkan pemudik.

Larangan mudik itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.

Dalam aturan itu juga tertuang sanksi bagi yang melanggar berupa denda Rp 100 juta dan hukuman kurungan satu tahun.

Baca juga: BNPB Tegaskan Tak Keluarkan Izin Mudik Selama Wabah Virus Corona

Dari 24 April hingga 7 Mei 2020, polisi masih menggunakan cara persuasif dengan cara menghalau atau melarang mereka saat di jalan. Namun, setelah periode tersebut, jika ada yang masih melanggar maka bisa dikenakan sanksi.

Polisi memberikan diskresi dalam pelaksanaan keputusan tersebut dengan mengizinkan warga untuk keluar atau masuk wilayah yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan zona merah penyebaran Covid-19 dengan alasan kedaruratan dan kemanusiaan.

"Seperti mengunjungi kerabat yang sakit keras atau meninggal dunia, lalu seperti rumah di Jakarta kerja di Karawang. Alasannya bukan mudik karena mudik itu dilarang. Itu semua tergantung penilaian anggota di lapangan yang menentukan," kata Benyamin.

Baca juga: Hari Kelima Operasi Ketupat, Polisi Pulangkan 2.765 Kendaraan Pemudik

"Diskresi diberikan setelah dilakukan pemeriksaan yang ketat seperti jika alasan keluarga sakit parah atau meninggal dunia. Petugas lapangan akan menanyakan foto, video, dan menghubungi pihak keluarga itu. Penilaiannya ketat dan tidak sembarangan."

Dalam pelaksanaan Operasi Ketupat 2020, Polri mengerahkan 175.000 personel gabungan dari polisi, TNI, dinas perhubungan, dinas kesehatan, Satpol PP, dan pihak lainnya.

Baca juga: Meski Mudik Dilarang, Jasa Kirim Motor Pakai Kereta Masih Beroperasi

Pasukan gabungan ini tidak termasuk dengan pos-pos pengawasan di daerah yang dibawah polres dan polda masing-masing.

Namun, Darmaningtyas menyebut tidak perlu ada diskresi dalam pelaksanaan larangan mudik.

"Kalau kebijakan itu ada perkecualian, pasti tidak akan pernah berhasil baik karena memunculkan celah dan kemungkinan pelanggaran. Di kasus ini, memungkinkan orang lolos dan bisa mudik dengan alasan apa pun sehinga berpotensi menyebarkan virus corona," katanya.

Baca juga: Masih Nekat Mudik ke Malang, Siap-siap Diusir Putar Balik

Apa bahaya mudik?

Operator Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Tasikmalaya memantau arus lalu lintas di sejumlah titik persimpangan melalui CCTV di Area Traffic Control Sistem (ATCS) Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (28/4). ADENG BUSTOMI/Antara Operator Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Tasikmalaya memantau arus lalu lintas di sejumlah titik persimpangan melalui CCTV di Area Traffic Control Sistem (ATCS) Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (28/4).
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono menilai, mudik berpotensi mempercepat penyebaran virus corona dan memicu lonjakan korban meninggal.

"Mereka yang mudik ini pulang ke kampung dan tidak tahu membawa virus karena tidak dites, lalu ketemu orang tua dan sanak saudara dan menginfeksi mereka. Dari daerah yang tidak ada virus lalu menjadi terpapar dan terjadi perluasan penyebaran infeksi," kata Pandu.

Ditambah lagi, kata Pandu, daya tampung dan fasilitas rumah sakit di daerah sangat terbatas.

Baca juga: Hari Pertama PSBB Gresik, Polisi Tak Ingin Kecolongan Pemudik

Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik dari Universitas Indonesia Amin Soebandrio juga menyebut bahwa mudik dapat meningkatkan secara tajam jumlah orang yang terpapar virus corona dan menyebarkannya hingga ke desa-desa.

"Hitungan kasar, jika satu orang menularkan ke dua hingga empat orang, dan ada 1.000 yang membawa virus ke daerahnya. Maka satu hingga dua minggu ke depan akan ada 2.000-4.000 kasus baru. Lalu mereka menularkan lagi ke dua hingga empat orang, lalu lagi dan lagi. Bisa kita bayangkan pertambahan jumlah kasus? Meningkat tajam," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com