Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ngasirah, Sosok di Balik Perlawanan Kartini terhadap Ketidakadilan

Kompas.com - 29/04/2020, 23:02 WIB
Puthut Dwi Putranto Nugroho,
Dony Aprian

Tim Redaksi

REMBANG, KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu pahlawan wanita yang berani menggerakkan perubahan dan memperjuangkan emansipasi wanita.

Sejatinya, kiprah Kartini tak bisa lepas dari sosok Ibu kandungnya, Ngasirah.

Pengamat Sejarah Edy Tegoeh Joelijanto (50) yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Yogyakarta dan Universitas Putra Bangsa Surabaya, mengatakan, ibundanya itu bukanlah keturunan darah biru.

Ngasirah merupakan anak seorang kiai di Telukawur, Kabupaten Jepara, Jateng.

Kasta Ngasirah merosot setelah Sosrongingrat diangkat menjadi Bupati Jepara yang berpoligami dengan keturunan bangsawan Madura, Raden Ajeng Moerjam.

Baca juga: Sepenggal Cerita Nining, Kartini Masa Kini yang Jadi Garda Depan Melawan Covid-19

Justru Moerjam lah yang otomatis menjadi Raden Ayu Bupati Jepara, bukan Ngasirah yang telah melahirkan delapan anak.

Ngasirah pun berstatus selir dan harus memanggil anak-anaknya sendiri dengan sebutan "ndoro" atau majikan.

Dan putra-putri Ngasirah diharuskan memanggil Ngasirah dengan sebutan "Yu" atau panggilan untuk perempuan abdi dalem.

Sebagai selir, Ngasirah pun tidak berhak tinggal di rumah utama Kabupaten melainkan tinggal di bagian belakang Pendapa.

Meski demikian, Kartini lebih sering memilih tinggal dengan Ngasirah dan menolak memanggilnya "Yu".

Kartini sudi menikah jika Ibu kandungnya itu dibebaskan masuk Pendapa.

"Memori-memori kelam itulah yang mendorong Kartini menolak segala ketidakadilan saat itu terutama yang bersinggungan dengan perempuan Jawa. Bahkan, dari berbagai literatur menyebut Kartini tidak malu mengakui jika ibunya itu adalah keturunan rakyat biasa," kata Tegoeh saat dihubungi Kompas.com melalui ponsel, Selasa (28/4/2020).

Baca juga: Kontroversi Penyebutan Gelar Kartini, Raden Ajeng atau Raden Ayu?

Bagi Kartini, kesetaraan gender mutlak terjadi di dalam kehidupan.

Poligami bagi Kartini merupakan hal yang tak pantas karena dinilainya telah merendahkan wanita sekalipun itu sah bagi pandangan Islam.

Terbukti dari tulisan-tulisan di surat-suratnya yang begitu marah menentang praktik poligami.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com