Sementara itu di Kalimantan Tengah, masyarakat adat Dayak Kaharingan yang tinggal di Tumbang Malahoi, Rungan, Gunung Mas, menggelar ritual manggatang sahur lewu, sebuah ritual minta pertolongan dan perlindungan dari patahu, para leluhur penjaga kampung.
Mereka juga menggelar ritual mamapas lewu, ritual untuk membersihkan kota atau kampung dari pengaruh jahat atau hal-hal buruk yang terjadi akibat tindakan manusia maupun roh-roh jahat.
Ritual semacam ini, oleh Thomas Edison, salah satu warga yang ikut dalam ritual yang digelar pada 25 Maret silam sebagai bahajat.
Baca juga: Melihat Ritual Suku Rejang Menangkal Covid-19 dan Dampak Pertambangan
"Kalau untuk kondisi sekarang, bahajat agar penyakit namanya peres kami bilang di sini agar tidak sampai ke desa Tumbang Malahoi. Sehingga kami menggatang sahur untuk melindungi lewu kami dari wabah penyakit itu," ujarnya.
Biasanya, ritual itu diikuti oleh seluruh masyarakat adat yang tinggal di suatu wilayah, akan tetapi keharusan jaga jarak sosial, atau sosial distance untuk mencegah penularan virus corona ritual itu hanya diikuti oleh sebagian kecil masyarakat Dayak Kaharingan di Tumbang Malahoi.
"Karena ada pembatasan untuk kumpul orang banyak, yang membagi beras marua dan kain kuning sebagai tanda, ketua RT masing-masing," jelas Thomas.
Baca juga: Gelar Ritual Adat Kawalu, Kawasan Baduy Dalam Ditutup Tiga Bulan
Bahkan jauh sebelum virus corona mewabah
Mereka menyebutnya dengan besesandingon, atau tradisi yang selama ini mereka lakukan untuk menghentikan segala penyakit menular.
Pegiat hak masyarakat adat Orang Rimba, Saur Marlina Manurung, menjelaskan dalam praktik social distance ala Orang Rimba ini, si tersangka sakit harus mengisolasi diri selama beberapa hari.
Baca juga: Melawan Setan Bermata Runcing, Cara Orang Rimba Jaga Kelestarian Hutan
Oleh Orang Rimba, pemisahan orang yang sakit ini disebut disesandingko, atau dipisahkan. Mereka tidak boleh berbaur dengan yang sehat.
Tradisi ini tidak hanya berlaku bagi Orang Rimba saja, namun orang dari luar yang bertandang ke wilayah tinggal Orang Rimba.
Mereka dipisahkan dari orang yang sehat, bahkan dengan jarak hingga 50 meter.
Biasanya, mereka ditempatkan di lokasi yang lebih ke hilir sungai, sementara yang sehat tinggal di hulu sungai. Sehingga, air yang dipakai oleh orang yang sakit, tidak mengalir ke mereka yang sehat.
Baca juga: Kisah Perjuangan Butet Manurung Mengajar Baca-Tulis Anak-anak Orang Rimba
"Jadi mereka percaya belum tentu orang ini sakit, tapi orang ini bisa jadi membawa penyakit walaupun orang ini nggak sakit," lanjutnya.
Dia menambahkan, apapun yang dipegang si sakit tidak boleh disentuh, bahkan jalur di hutan yang ia lewati saat kembali dari luar rimba menuju ke dalam rimba, akan ditabukan akan dilewati.
Baca juga: Orang Rimba yang Keluar Hutan Lebih Rentan Sakit
"Mereka akan bikin jalur setapak baru," lanjutnya.
Butet mengatakan, kesehatan bagi Orang Rimba sangat menjadi prioritas. Hal ini tampak dari tiap kali sesama Orang Rimba bertemu, yang ditanya adalah kondisi kesehatan mereka.
"Apa mikai bungaron, apakah kamu sehat?," kata dia.
Baca juga: Orang Rimba Minta Perlindungan
Selain memasak sayur lodeh, ada juga warga yang memasang sesaji gantungan daun alang-alang dan daun opo-opo hingga cukur gundul.
Salah satu keluarga Keraton Kasunanan Surakarta, GKR Wandansari mempercayai bahwa pandemi virus corona Covid-19 disebut sebagai pagebluk, istilah orang Jawa untuk menyebut wabah penyakit.
Baca juga: Sayur Lodeh: Kandungan Gizi dan Variasi Resep
Oleh sebab itu, sesuai dengan kepercayaan para leluhur, dilakukan ritual tolak bala atau tolak bahaya untuk menghalau pagebluk.
"Kalau Keraton Yogya tolak bala dengan sayur lodeh, kalau saya dengan ritual memasang godong (daun) alang-alang dan godong opo-opo," ujar GKR Wandansari pada BBC News Indonesia.
Perempuan yang akrab disapa Gusti Moeng ini menuturkan dua jenis daun itu sering digunakan dalam berbagai ritual tradisi masyarakat Jawa seperti halnya tuwuhan yang dipasang di bagian kiri dan kanan pintu saat menggelar hajatan pernikahan.
Baginya, daun alang-alang dan daun opo-opo yang digabung menjadi satu itu memiliki simbol yang penuh makna.
Baca juga: Tolak Bala Sambut Imlek, Kelenteng Solo Lepas 999 Burung Pipit dan Ikan Lele
"Ya, artinya ora ono alangan opo-opo (supaya tidak terjadi apa-apa). Terus kalau ada yang jelek-jelek ke kita itu di-alangi (dihalangi)," ungkap Gusti Moeng yang merupakan putri mending Raja Sinuhun Pakubuwana XII.
Sesaji tolak bala itu digantung di depan pintu. Menurutnya adanya sesaji daun alang-alang dan daun opo-opo itu diharapkan bisa menolak pagebluk yang masuk ke rumah.
"Digantung di atas pintu masuk. Tapi kalau di belakang terdapat pintu juga bisa dipasangi gantungan daun alang-alang dan opo-opo itu," terangnya.
Baca juga: Barong Ider Bumi, Ritual Tolak Bala saat Idul Fitri di Banyuwangi
Pemasangan daun alang-alang dan daun opo-opo telah dilakukan sejak tanggal 15 Maret 2020 lalu.
Para abdi dalam Keraton yang tergabung dalam Paguyuban Kawula Keraton Kasunanan Surakarta (Pakasa) yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, pun mengikuti ritual serupa.
"Tapi serentak pemasangan tolak bala daun alang-alang dan daun opo-opo itu dilakukan pada tanggal 21 Maret 2020 lalu," sebutnya.
Aksi tolak bala juga dilakukan di Kelurahan Gandekan, Jebres, Solo pada Senin (23/3/2020) lalu dengan memasak dan makan bersama sayur lodeh tujuh rupa.
Baca juga: Hadapi Corona, Ganjar Minta Desa Hidupkan Lagi Tradisi Jimpitan untuk Lumbung Pangan
Warga Gandekan, Arik Rahmadani, mengatakan tradisi memasak sayur lodeh tujuh rupa merupakan tradisi yang turun temurun dari nenek moyangnya di kala pagebluk.
"Selama itu baik dan positif kenapa tidak kita coba untuk membuat sayur lodeh tolak bala," kata dia.
"Kita ya percaya juga tidak, karena ini turunan dari nenek moyang. Dan makan bersama merupakan hal yang baik dan bentuk silaturahmi kita," lanjut Arief.
Baca juga: Tradisi Tahunan Kulon Progo Nyadran Agung 2020 Ditiadakan, Antisipasi Penyebaran Covid-19
Berbeda dengan Arief yang skeptis dengan khasiat sayur lodeh, warga yang lain, Eka Diana memercayai sayur tersebut sebagai penolak bala.
"Jadi tujuannya untuk mengusir virus corona. Dan saya meyakini saja karena saya orang Jawa dan mengikuti ada Jawa," jelasnya.
Ritual tolak bala pun dilakukan oleh Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo yang mencukur gundul rambutnya bersama para pejabat pemerintah kota Solo yang lain.
Baginya, cukur gundul bersama itu menurut kepercayaan orang Jawa sebagai salah satu cara menolak bala agar Solo terbebas dari wabah virus corona Covid-19.
"Gundul itu kan simbol untuk membersihkan segala sesuatu kotoran. Kalau digundul itu cara membersihkannya kan lebih mudah," jelasnya.
Baca juga: Cerita Pengantin di NTB Batalkan Tradisi Nyongkolan, Tetap Patuh meski Resepsi Jadi Sepi
"Masyarakat adat dengan perkembangan kehidupan yang mereka hadapi dengan segala pengetahuan mereka tentang alam, pada umumnya memiliki prinsip kehidupan bagaimana menyeimbangkan, menjaga keseimbangan tiga arah, hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dan alam sekitar dan hubungan manusia dengan alam yang di luar jangkauan manusia," ujar Yando.
Wabah penyakit, gagal panen, lanjut Yando, dianggap sebagai bencana oleh masyarakat adat.
Baca juga: Perawat yang Tangani Pasien Virus Corona Jadi Gundul, Ini Alasannya...
Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika dalam kehidupan masyarakat adat ditemukan tradisi yang sebenarnya menjaga keseimbangan, atau memulihkan keseimbangan.
"Intinya adalah bagaimana kehidupan manusia dan masyarakatnya selalu seimbang dengan mereka sesama manusia, dengan alam, dengan dunia yang lebih luas, katakanlah dunia ghaib atau supranatural yang tidak mereka bisa lihat, jelasnya.
Tak hanya itu, menurut Yando, masyarakat adat kerap melakukan upaya preventif dengan memberlakukan tradisi-tradisi yang mereka anggap tabu, atau pelarangan untuk melakukan sesuatu pada masa tertentu.
Baca juga: Unik, Tukang Cukur di Bogor Pakai APD Saat Mencukur Pelanggan, Ini Alasannya
"Masyarakat adat kan juga punya memori kolektif tentang pandemi. Jadi apa yang saat ini bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi seratus tahun lalu," ujar Rukka.
Dia menjelaskan, pada saat flu Spanyol mewabah di Tana Toraja pada abad lalu, membuat warga ketakutan karena wabah itu menewaskan banyak masyarakat adat Toraja.
Memori kolektif akan wabah yang terjadi sebelumnya, membuat masyarakat adat lebih mawas diri dalam menjaga keseimbangan dengan alam dan sesama manusia.
Baca juga: Tokoh Adat Babel Desak Pemerintah Batalkan Tradisi Budaya Jelang Ramadhan dan Idul Fitri
Kenapa masyarakat adat menjadi sangat rentan, karena selama ini kondisi geografis masyarakat adat yang sulit terjangkau, dan minim fasilitas layanan kesehatan dari pemerintah.
"Kalau sampai masyarakat adat kena Covid-19, dan banyak meluas, bisa dipastikan akan banyak sekali masyarakat adat yang mati tak terurus. Jadi ini bahaya sekali," tegas Rukka.
Senada, pegiat hak-hak Suku Orang Rimba, Butet Manurung mengungkapkan ketika masyarakat adat semakin tergantung pada dunia luar, mereka akan semakin rentan.
Baca juga: Musim Hujan di NTT Terlambat, Masyarakat Gelar Ritual Minta Hujan
Sebaliknya, ketika mereka semakin sedikit bergantung dengan dunia luar, maka mereka semakin kuat.
"Imunitas juga sama, semakin dia tergantung dengan makanan dari dunia luar, imunitasnya semakin rendah. Semakin jelek sumber daya alamnya, imunitasnya semakin rendah," ujarnya.
"Masyarakat adat sekarang lebih rentan ketimbang 20 tahun lalu," kata dia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.