BANDA ACEH, KOMPAS.com – Suasana Kota Banda Aceh bagai kota mati saat malam hari.
Banyak ruas jalan diberi penghalang mulai dari lorong desa hingga jalan protokol pusat kota.
Jumlah kendaraan yang melintas pun sontak menyusut, dan kemudian menghilang ketika jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Jalan-jalan protokol dijaga oleh personel tentara. Sementara di lorong-lorong desa dijaga oleh pemuda desa setempat.
“Ini sungguh mengembalikan psikologi kita kepada masa darurat militer yang pernah diberlakukan di Aceh belasan tahun lalu,” ujar Hendra Saputra, koordinator Kontras Aceh, Jumat (3/4/2020).
Baca juga: Setelah Aturan Jam Malam di Aceh, Jumlah Penumpang Bus Menurun
Sejumlah elemen masyarakat sipil di Aceh memprotes pemberlakuan jam malam yang kini sedang berlangsung di Aceh, yang disebut sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh menilai, pemberlakuan jam malam bukanlah langkah tepat dalam melawan penyebaran virus corona.
Menurut Hendra, jam malam yang diberlakukan dengan menutup jalan-jalan protokol, penutupan warung dan toko-toko, hampir persis dialami saat penerapan Darurat Militer di Aceh dulunya.
“Suasana malam seperti masa konflik dulu, dikhawatirkan menimbulkan trauma warga,” sebutnya.
Senada dengan itu, Ombudsman RI Perwakilan Aceh menilai pemberlakuan jam malam di Aceh dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 bisa menimbulkan trauma masa konflik Aceh belasan tahun lalu.
"Jam malam yang sedang diperlakukan di Aceh, kesan saya telah menimbulkan nostalgia traumatik. Warga teringat pada masa konflik yang pernah terjadi belasan tahun lalu," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Tawaddin Husin dalam keterangannya melalui WhatsApp.
Taqwaddin mengatakan, bagi generasinya, ingatan tersebut masih sangat kuat dan membekas.
Menjadi beban psikologis yang harusnya dipertimbangkan saat akan menembuh kebijakan pemberlakuan jam malam tersebut.
Pada masa lalu, kata Taqwaddin, jam malam di Aceh diberlakukan dalam masa darurat sipil, yang kemudian meningkat menjadi darurat militer karena keadaan bahaya menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Tetapi sekarang, kan situasinya beda, yang dihadapi bukan gerakan bersenjata, tetapi pandemik wabah virus corona yang mendunia, dan pastinya ada jalur tempuh untuk mencegah penyebaran virus ini" ujar Taqwaddin.
Taqwaddin mengakui bahwa hal ini memang dibenarkan dalam UU keadaan bahaya. Makanya, Presiden belum memberlakukan darurat sipil.
Baca juga: Aceh Terapkan Jam Malam, Aktivitas di Semua Daerah Wajib Ditutup
Tetapi, pusat memutuskan kebijakan tentang pemberlakuan darurat kesehatan masyarakat, yang merupakan rezim UU Karantina Kesehatan, ini hukum positifnya sekarang.
"Saya kira, sebaiknya Pemerintah Aceh mengikuti saja kebijakan yang sudah digariskan oleh pemerintah pusat," ucap Taqwaddin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.