Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KY Rekomendasikan 7 Hakim di NTB Disanksi MA, Diduga Terima Gratifikasi

Kompas.com - 13/03/2020, 20:41 WIB
Fitri Rachmawati,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

MATARAM, KOMPAS.com - Komisi Yudisial (KY) Nusa Tenggara Barat (NTB) merekomendasikan tujuh hakim di NTB mendapatkan sanksi.

Ketujuh hakim diduga telah melakukan pelanggaran etik di wilayah yudiksi Pengadilan Tinggi NTB.

"Kasus di NTB ini masuk urutan ke 7 dari 34 Provinsi di Indonesia. Dari 27 hakim yang dilaporkan, kami merekomendasikan tujuh hakim terancam mendapatkan sanksi dari Mahkamah Agung," Kata Koordinator Penghubung KY, Ridho Adrian Pratama kepada Kompas.com di kantornya, Jumat (13/3/2020).

Ridho mengatakan, laporan tersebut masuk pada 2 Januari hingga 23 Desember 2019.

Baca juga: Kisah Mbah Mangun Hidup Menyendiri di Dekat Kandang Sapi dan Tidur di Samping Peti Mati

Hingga saat ini laporan untuk tujuh hakim yang wilayah kerjanya di PN Lombok dan Sumbawa itu masih diproses oleh MA.

"Sampai hari ini kami belum mendapat sanggahan dari Mahkamah Agung terkait tujuh hakim yang terancam disanksi. Kami masih menunggu keputusan Mahkamah Agung," ucap Ridho.

Berdasarkan aturan, kata Ridho, MA memiliki waktu 60 hari untuk membantah atau menyangkal terkait tujuh hakim yang dilaporkan itu.

Dalam proses itu akan dilakukan pemeriksaan bersama dengan tim KY.

Jika tidak ada sanggahan maka rekomendasi KY berlaku otomatis.

Hanya saja, KY tidak bisa merinci sanksi apa saja yang akan diterima para hakim itu.

Hal tersebut karena sepenuhnya merupakan kewenangan MA, termasuk mengumumkan inisial nama ketujuh hakim, jabatan, dan tempat bertugasnya.

Termasuk juga sanksi atau ketentuan yang dilanggar para hakim itu.

"Yang jelas mereka, tujuh hakim itu melakukan pelanggaran kode etik, seperti bertemu para pihak atau menerima gratifikasi. Untuk tahun ini, pelanggaran etik seperti perselingkuhan tidak ada, itu tahun lalu ada hakim yang berselingkuh dan telah menjalani sangsinya berupa pemecatan," ujar Ridho.

Pantau

Ridho menjelaskan, masyarakat bisa mengakses langsung keputusan MA terkait hakim yang melakukan pelanggaran, termasuk ketentuan yang dilanggarnya, melalui website  www.bawas.mahkamahagung.go.id.

Masyarakat juga bisa terus memantau hakim yang telah direkomendasikan mendapat sanksi tidak dieksekusi oleh MA.

Upaya masyarakat ini menurut Ridho adalah salah satu bentuk menegakkan peradilan bersih di NTB.

Berdasarkan data KY, tercatat ada 130 laporan pelanggaran hakim dari 34 Provinsi di Indonesia.

Angka tertinggi DKI Jakarta sebanyak 327 laporan dan 30 orang hakim di DKI terancam diberikan sangsi,

Baca juga: Kisah Mbah Mangun Hidup Menyendiri di Dekat Kandang Sapi dan Tidur di Samping Peti Mati

Menyusul Sumatera Utara ada 18 hakim yang terancam disanksi, Riau 16 hakim, Sulawesi Selatan 11 hakim, Bali 9 hakim, Jawa Timur 18 hakim, dan NTB tercatat 7 hakim terancam disanksi, dari 27 laporan warga.

Ridho mengatakan, 130 hakim yang direkomendasikan mendapatkan sanksi harus diproses MA, termasuk diumumkan secara terbuka kepada publik.

Masyarakat tidak perlu ragu untuk melaporkan hakim yang diduga melakukan pelanggaran dalam persidangan, baik kasus pidana, perdata, maupun hakim di pengadilan agama.

Karena kerahasiaan identitas pelapor dijamin oleh KY sesuai undang-undang.

"Yang harus diperhatikan saat melapor, bukan kuantitas laporan tetapi kualitas laporan. Di mana harus ada bukti pendukung yang memperkuat laporan tersebut," kata Ridho.

Humas Pengadilan Negeri Mataram Didik Jadmiko yang dikonfirmasi mengatakan, tidak mengetahui apakah dari tujuh hakim yang direkomendasikan disanksi, ada yang berasal dari PN Mataram.

"Maaf saya tidak tahu dan mengerti hakim-hakim siapa yang kena sanksi dimaksud. Karena tidak jelas siapa-siapa yang disebut oleh Penghubung KY tersebut," ucap Didik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com