Ia pun hidup merantau ke mana-mana setelah itu, termasuk ke Sumatera. Namun, perjalanan usia tak bisa menipu. Ia akhirnya merasa ringkih. Sejak itu, ia ikut saudara dan kerabat di Yogyakarta dan bekerja apa saja.
“Terakhir di Wonosari, kemudian kembali ke sini. Dia mengatakan, ingin ikut saya saja. Bagaimana pun saya terima,” kata Waryadi.
Ia mengingat, waktu itu Mangun datang pada 2012. Waryadi mengatakan, Mangun meminta untuk bisa numpang hidup bersama adiknya.
Waryadi mengaku hidupnya sebenarnya juga dalam keterbatasan. Meski begitu, ia tetap membangun rumah kecil untuk Mangun di belakang rumahnya.
Mereka berbagi sumur. Ia juga menyalurkan listrik dan lampu ke pondok ini.
“Saya tidak akan merasa sia-sia (sudah membantu sedemikian rupa)” katanya.
Waryadi mengaku ia kesulitan kalau sampai harus menanggung seluruh penghidupan Mangun. Namun Mangun tetap beruntung, anak cucunya cukup peduli dan perhatian.
Cucunya, menurut Waryadi, yang membantu, mulai dari menyediakan dipan hingga kasur.
“Berhubung saya tidak punya penghasilan dan tidak bekerja,” katanya.
Bahkan, cucunya pula yang membelikan 4 kambing untuk kegiatan hari-hari Mangun. Cucunya, kata Waryadi, tiap bulan mengirim uang dan sembako untuk jaminan hidup.
“(Semua) yang merawat cucunya,” kata Waryadi.
Jual kambing beli peti mati
Belakangan, Mangun menjual kambing itu. Ia menggunakan uang hasil menjual kambing untuk membeli peti mati, kain mori, gali kubur hingga kijing.
Peti mati sekitar Rp 1 juta, 3 kain mori seharga Rp 50.000 per lembarnya, dan kijing seharga Rp 650.000.
“Peti itu meminta anaknya. (Tapi anaknya menolak dan bilang) kalau besok (meninggal) baru beli dan pakai (peti mati), tapi sendirinya (Mangun) marah. Akhirnya cari peti,” kata Waryadi.
Pada suatu waktu, ada yang mengantar peti mati melintas desa dan menuju ke belakang rumah Waryadi. Warga Mendiro geger. Sebagaimana umumnya masyarakat Jawa, warga saling memperhatikan satu dengan lain.
Warga terbiasa saling membantu maupun menjenguk mereka yang sakit atau berduka cita. Tak ada angin dan hujan, kedatangan peti mati tanpa ada kabar duka cita, tentu membuat warga bertanya-tanya.
"Sing durung ono teh karo gulo, nganggo nyepaki wong sing layat (yang belum siap itu teh dan gula, untuk mereka yang datang melayat nanti)," kata Mangun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.