Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mbah Mangun Hidup Menyendiri di Dekat Kandang Sapi dan Tidur di Samping Peti Mati

Kompas.com - 13/03/2020, 16:14 WIB
Dani Julius Zebua,
Khairina

Tim Redaksi

Tak hanya peti mati, Mbah Mangun mengaku sudah membeli liang lahat dan batu nisan atau kijing yang semuanya disiapkan untuknya nanti kalau mati.

“Yen wis dipundut, gari nguncalke. Kulo wis siap-siap jogangan (kalau sudah dipanggil Tuhan, tinggal masukkan saja. Saya sudah menyiapkan liangnya juga). Itu lho ruangan untuk ngubur,” kata Mbah Mangun.

Kesendirian

Pondok mungil itu tanpa hiasan. Satu-satunya hiasan berupa foto keluarga dan kerabat terpampang pada dinding belakang rumah Waryadi.

Di bawah foto itu, Mangun selalu melakoni aktivitas hari-hari, seperti duduk menunggui belasan ayamnya makan nasi liwet campur bekatul.

Atau, setidaknya berteduh dari sinar matahari yang menyengat.

Mbah Mangun selalu terdengar bangga menceritakan keluarganya ini.  Anaknya dua, cucunya lima, dan cicitnya 3. 

“Anakku dua perempuan semua. Puthuku (cucu saya) kerja di dealer. Puthuku sudah bisa beli mobil sendiri. Anakku dulu sekolah musik,” kata Mangun.

Baca juga: Kisah Mbah Japar Hidup Sendiri di Gubuk Selama 46 Tahun dan Tak Ingin Pindah

Walau memiliki keluarga, Mangun mengaku ingin menjalani sisa hidupnya tetap seperti ini. Ia mengaku tidak ingin  membuat repot dan susah keluarga di hari tuanya.

Mangun suka berkisah bagaimana cucunya meminta ikut dirinya. Ia bergeming.

Dikon bali puthuku. Wah yo ora. Ning kene wae. Wis gawe jogangan (disuruh pulang cucu. Tidak mau. Di sini saja, saya sudah bikin liang),” katanya .

Tidak hanya cucunya. Tak sedikit warga sekitar menawarkan tempat tinggal. “Mbok turu nggonku (tidur di tempatku saja),” cerita Mangun.

Ia lagi-lagi memilih keadaan ini. Ia mengaku sudah terbiasa dengan cuaca maupun suara di sekitar kawasan ini. Juga keramahan warga. Ia terbiasa dengan dinginnya malam. Ia terbiasa dengan sunyi kampung ini. 

Bila dingin melanda, ia segera menyalakan perapian kayu dalam pondok.

Ndek bengi, jam telu kurang 15, aku nggawe gegeni. Yen ditakoni, adem eh le (tadi malam, jam tiga kurang 15, saya menyalakan tungku. Kalau ditanya, karena kedinginan),” kata Mangun. 

Sementara, hujan dan petir tak bikin kawatir. Bila sepi melanda, ia menyanyi sendiri. Liriknya, kata Mangun, mengisahkan usaha menyingkirkan godaan roh halus. Jamnya semaunya saja.

Nyingkirke kewan lan memedi melu kowe, ora digodha. Yen ijen, silangan demit kuwi piye,” kata Mangun.

Yen ono bledek, tinggal ngomong aku iki cucune Ki Ageng Selo,” katanya.

Waryadi (68) adik Mangun. Keduanya berasal dari satu ayah beda ibu. Ia menceritakan bahwa Mangun orang  terpandang pada masa lalu. Ia punya tanah yang luas, namun habis sedikit demi sedikit. 

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com