KOMPAS.com - Ketut Immaduddin Djamal mendirikan Pondok Pesantren Bali Bina Insani Tabanan di Tabanan, Bali pada awal tahun 1990-an. Saat pertama kali bediri, pesantren tersebut hanya menampung tujuh siswa.
Ketut lahir di sebuah kampung Islam Pegayaman, Buleleng. Ia mendirikan pesantren karena dia merasa kondisi pendidikan dan pengasuhan umat Islam di Bali sangat minim.
Sebelum mendirikan pondok pesantren, Ketut mengaku sering mendengar cerita umat Islam di Bali kesulitan menyekolahkan anaknya di bidang agama.
Mereka terbentur masalah ekonomi karena untuk mondok harus ke luar Bali, yakni ke Jawa dan Lombok.
Baca juga: Toleransi dalam Pondok Pesantren di Bali yang 50 Persen Gurunya Beragama Hindu
Pada tahun 1991, saat megisi pengajian di sebuah komunitas muslim asal Sulawesi Selatan di Denpasar, seorang peserta menanyakan cara implementasi disampaikannya terkait umat, anak yatim dan sebagainya.
"Saya tertampar di sana. Saya kemudian mulai melihat-lihat untuk membuat sebuah lembaga pendidikan," katanya.
Saat itu seorang mualaf, istri seorang tentara menawarkan rumah seluar 4 hektare di Tabanan untuk dijadikn pondok pesantren. Untuk pertama kalinya ada 7 anak yatim piatu ditampung di pondok pesantren tersebut.
Baca juga: Gereja Katedral Jakarta Berharap Terowongan Silaturahim Mempererat Toleransi
"Kita bina mereka, anak-anak yatim ini. Rupanya setiap ada acara, mereka menonjol dengan maju berpidato dan bisa bahasa Arab dan Inggris sedikit-sedikit. Mereka dianggap hebat," ceritanya.
Jumlah santri setiap tahun bertambah dan lokasi pertama tak lagi bisa menampung. Pondok pesantren tersebut kemudian pindah ke lahan yang lebih luas pada tahun 1996.
Sekitar Agustus 1997, pondok pesantren mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan pada tahun 2000 didirikanlah Madrasah Aliyah.
Pondok pesantren terus berkembang dan saat ini jumlah santrinya mencapai 420 orang yang didominasi dari Bali dan Lombok.
Baca juga: Belajar Toleransi di Banuroja, Desa Pancasila Penuh Damai di Indonesia
Desa Meliling adalah desa dengan komunitas Hindu yang sangat kental.
Yuli Saiful Bahri, Kepala Biro Pendidikan Bali Bina Insani mengatakan sekitar 50 persen tenaga pengajar di Ponpes ini beragama Hindu.
Ada sekitar 49 guru yang mengajar di Lembaga Pendidikan yang menerapkan konsep boarding school (asrama) ini.
Untuk menghormati masyarakat Hindu, kegiatan belajar dan mengajar di pondok pesantren diliburkan saat hari raya agama Hindu.
Baca juga: Toleransi dalam Keberagaman
Hal tersebut terlihat saat Kompas.com mengunjungi pondok pesantren tersebut pada Sabtu (29/2/2020).
Hari itu kegiatan sekolah libur karena umat Hindu sedang merayakan hari besat keagamaan Kuningan.
"Ini adalah cara kami untuk menghormati para guru yang merayakan hari besar keagamaannya," kata Yuli, Sabtu siang.
Ia bercerita sejak berdiri tahun 1991 lalu tidak ada konflik dan penolakan dari masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Hindu.
Baca juga: Merajut Toleransi dan Keberagaman di Kelenteng Pan Kho Bio
Hal senada juga dijelaskan Ni Made Suardani, salah satu guru beragama Hindi di pesantren tersebut. Kepada siswanya, ia selalu mengajarkan untuk saling menghormati meski berbeda keyakinan.
"Toleransi yang kita ajarkan selama ini langsung dengan praktik bahwa kita walau berbeda agama tetap saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain," katanya Minggu (1/3/2020) siang.
Ni Made juga menjelaskan bahwa para santri tidak pernah membeda-bedakan antara guru Muslim dan Hindu.
"Bila bertemu baik di sekolah maupun di luar mereka selalu bersalaman dan mencium tangan kami," katanya.
Baca juga: Potret Toleransi di Jember, 8 Agama Ikut Hadir dalam Perayaan Imlek
Ia mengaku paham dengan budaya dan adat istiadat di Bali. Untuk itu ia ingin santri di Ponpesnya menghargai dan kenal dengan budaya Bali karena mereka hidup dan tinggal di Bali.
Salah satunya adalah saat ada warga yang meninggal dunia, maka santri wajib datang dan membantu.
Sementara saat hari raya Idul Adha, pondok pesantren akan mengundang warga sekitar untuk ikut mengibung atau makan bersama di pondok pesantren.
Baca juga: Potret Lasem, Tempat Keberagaman dan Toleransi Terjaga dengan Baik
"Saya hanya ingin santri tak terjerabut dari budaya Bali karena mereka hidup di Bali," kata pria yang saat ini menjadi Hakim di Pengadilan Tinggi NTB.
Menurut Ketut Immaduddin perbedaan itu nyata di dunia. Namun jangan dijadikan alasan untuk bermusuhan dan perpecahan.
"Di Islam juga kan diajarkan, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat sesama tanpa melihat ideologi, etnis, geografis, dan agama. Kita disuruh berbuat baik saja. Kalau kamu beebuat baik, maka kebaikan itu akan kembali pada kamu," katanya.
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Imam Rosidin | Editor: Teuku Muhammad Valdy) Arief)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.